Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki yang Terjun Bebas dari Puncak Tower

9 Maret 2018   08:18 Diperbarui: 9 Maret 2018   08:29 753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanpa ragu, Rasmin mendekati pintu pagar besi rumah Icha. Memukul-mukulkan batu pada pintu pagar besi itu. Karena bisingnya suara, robot anjing herder yang tertidur pulas di bawah kursi di teras rumah itu terbangun. Berlari cepat ke arah Rasmin sambil menggonggong dan menjulur-julurkan lidahnya yang berliur. Karena ketakutan, Rasmin berlari. Baru beberapa langkah, Rasmin mendengar suara, "Kek, kembalilah! Robot anjing herderku tak akan melukaimu."

Rasmin memalingkan wajah. Saat melihat Icha dari kejauhan, Rasmin melangkah gontai ke tempatnya semula. Sesudah dipersilakan, Rasmin memasuki rumah dengan dinding ruang tamu berhiaskan lukisan-lukisan figur manusia. Melihat salah satu lukisan di dinding itu, Rasmin sontak teringat pada anaknya.

"Ada apa dengan lukisan-lukisan itu, Kek?" Icha bertanya tanpa beban. "Kenapa Kakek selalu memandanginya?"

"Figur siapa yang mengenakan surjan lurik itu?"

"Kata ayah, itu figur kakek buyutku yang telah meninggal sebelum aku dilahirkan." Icha mengingat-ingat sesuatu. "Namanya, Rustam...."

"Maji?"

"Ya. Rustamaji. Dari mana Kakek tahu?"

"Cuma mengira-ngira."

"Oh, begitu." Icha terdiam. "Oh ya, Kakek sudah sarapan?"

Rasmin menggeleng.

"Sarapan, Kek! Tapi..., mandilah dulu! Bukankah sudah sekian lama Kakek tak mandi?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun