Mohon tunggu...
Achmad Azkiya
Achmad Azkiya Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Lepas

Suka tidak suka serius.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Meneladani Cinta Iblis

23 Mei 2022   21:42 Diperbarui: 23 Mei 2022   21:47 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terlalu menghamba dan memuji, lupa sudah tugas menasihati, padahal emas yang kauingin itu tercetak dari pahit-pahit yang nyelekit. Betapa langka mulut-mulut obyektif, mayoritas menggila dalam menggula, di sisi lain menginjak-injak dalam mengejek, gula dan kopi kini dirindukan para penggila nilai-nilai sejati.

Terperangah sudah mata indahmu itu dengan wah-wah di sana, padahal wah-wah sekitar juga banyak. Tapi begitulah, makhluk macam kau memang super aneh; dikasih yang sudah enak tak mau terima kasih, malah kurang ajar bilang 'ah, lebih menarik yang itu'. Benar-benar, kurang ajar, bukan?

Tak pernah kusetuju pada sumbu-sumbu pendek cinta, di mana seorang pencinta harus membunuh asa sendiri hanya karena yang dicintai tak memiliki rasa sama. Di mana letak keagungan cinta, kalau justru menjadikanmu lemah? Sungai yang jernih tak pernah memaki sampah yang dilempar sembarang olehmu, tangan yang berhati pun tak akan sudi menodai dirinya dengan menodai kejernihan sungaimu.

Semesta tak hirau akan air lemahmu, sudah lelah suara-suara itu berimu wejangan. Dielus berkali-berkali, tetap saja, malah tambah banjir laut kesedihan itu. Tapi tidak, tak dibiar kau secengeng itu. Hati-hati itu tetap berada di garda terdepan dalam rangka misuh-misuh. Apa lagi kalau bukan untuk memaki-makimu.

Kekasaran seringkali dibutuhkan dalam sembuhkan pesimis. Pecundang acapkali lemah lembut dalam membangun pecundang yang lain. Sekarang kau tinggal pilih; kukasarimu, atau aku harus lemah lembut kepadamu, Kawan?

Aku memilih kasar, sebab aku tak mau menipu diri sendiri dengan cara lemah lembut yang justru malah membuatmu semakin jadi pecundang yang diinjak-injak oleh perasaan. Hah, manusia model apa kau, Kawan? Kau tak malu pada Iblis? Bahkan berkat api-nya, banyak rokok-rokok terbakar agar lekas habis dan si penjual senang. Bukankah menyenangkan orang lain itu bentuk dari cinta?

Iblis, Kawan, kau tak segan dengan kontribusinya?

Mimpimu tinggal sejengkal, roboh-bangkit menjadi hal lumrah, menyerah tanpa juang singkirkan pelan-pelan dalam perasaan. Perahumu bukan aku yang mengendalikan, bukan pula tangan kosong Tuhan! Apalagi perasaan, ah, bocah kemarin sore itu mah.

Sebagai kawan nelayan, aku hanya bisa mengarahkan apa yang sekiranya baik untukmu. Saran saja. Perkara kaudengar atau tidak itu urusanmu. Sesederhana itu. Begitu juga tatkala rasa yang kau zakatkan tak berbalas adil, apakah kau akan mengharap imbalan dari zakatnya? Bacot basi! Dalam cinta tidak mengenal takaran-takaran. Kau paham mengapa? Tak kan kujawab, kau akan temukan definisi cintamu sendiri.

Takrim.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun