Dalam dunia pendidikan, istilah "pendidikan gaya bank" mungkin belum terlalu akrab bagi masyarakat umum. Namun, konsep ini sangat penting untuk dipahami, terutama bagi siapa pun yang peduli terhadap masa depan pendidikan di Indonesia. Istilah ini diperkenalkan oleh Paulo Freire, seorang pemikir pendidikan asal Brasil dalam bukunya yang berjudul Pedagogy of the Oppressed (Pendidikan Kaum Tertindas).
Freire mengkritik keras model pendidikan yang selama ini justru menempatkan peserta didik sebagai objek pasif dalam proses belajar. Dalam sistem yang ia sebut sebagai pendidikan gaya bank, guru menjadi satu-satunya sumber pengetahuan, sementara murid hanya bertugas mendengarkan, mencatat, dan menghafal. Pendidikan berubah menjadi proses “menabung informasi” tanpa adanya dialog, tanpa adanya dialektika, dan lebih parahnya—tanpa adanya kesadaran kritis.
Pendidikan Gaya Bank: Ketika Murid Hanya Dijadikan Objek
Bayangkan jika setiap proses belajar hanya berisi ceramah satu arah dari guru. Murid tidak diajak untuk berpikir, bertanya, atau mengembangkan gagasan. Mereka hanya menyerap informasi, lalu diminta mengulang kembali saat ujian berlangsung. Di sinilah inti masalah pendidikan gaya bank.
Freire menyebut gaya ini sebagai sumber dari keterasingan kaum tertindas terhadap realitas mereka sendiri. Karena dalam sistem ini, murid tidak pernah diajak memahami kondisi sosial, budaya, atau eksistensial mereka. Mereka hanya disodori materi yang sering kali tidak relevan dengan kehidupan nyata.
Lebih dari sekadar membosankan, model pendidikan seperti ini sebenarnya membahayakan. Ia mematikan kreativitas, menumpulkan daya kritis, dan menjauhkan murid dari kemampuan untuk membaca dunia secara sadar. Dalam jangka panjang, sistem ini hanya memperpanjang rantai ketimpangan sosial karena mencegah munculnya pemikiran bebas dari kalangan tertindas.
Pendidikan Gaya Bank adalah Alat Penindasan
Dalam kerangka pemikiran Freire, pendidikan tidak pernah netral. Ia selalu berpihak: entah pada pembebasan atau pada penindasan. Pendidikan gaya bank termasuk dalam kategori yang terakhir.
Dengan menjadikan guru sebagai satu-satunya pihak yang dianggap “tahu”, sistem ini secara tidak langsung menempatkan murid dalam posisi inferior. Murid dianggap bodoh, tidak tahu apa-apa, dan hanya bisa menerima. Sedangkan guru dijadikan simbol otoritas pengetahuan.
Inilah mengapa pendidikan gaya bank disebut sebagai alat ideologis dari kaum penindas. Karena begitu murid diberi ruang berpikir sendiri, menyampaikan gagasan, dan melihat realitas secara kritis—maka akan muncul potensi perubahan. Dan perubahan adalah hal yang paling ditakuti oleh sistem yang mapan.
Pendidikan Hadap-Masalah: Alternatif Menuju Kesadaran Kritis
Lantas, apa jalan keluarnya?
Paulo Freire menawarkan konsep pendidikan hadap-masalah sebagai alternatif. Ini adalah pendekatan pendidikan yang melibatkan murid secara aktif, memicu dialog, dan mengajak mereka untuk melihat realitas dengan lebih jernih. Tujuannya bukan sekadar menyampaikan materi, tapi membangun kesadaran kritis.
Ada dua hal utama dalam penerapan pendidikan hadap-masalah: