Mohon tunggu...
RZ Hakim
RZ Hakim Mohon Tunggu... lainnya -

Rakyat biasa yang senang menulis. Kini tinggal di Kalisat, kabupaten Jember.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Di Kalisat Tak Pernah Ada Konflik Agama

22 Oktober 2015   18:17 Diperbarui: 22 Oktober 2015   18:34 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Sebenarnya nama kecil saya di masa Hindia adalah Sadermo. Tapi dalam pemerintahan umum, di surat-surat, nama saya berganti sesuai dengan pengucapan orang-orang di sekitar saya, yatu Darmo. Jadilah nama saya Soedarmo."

Menurut laki-laki berusia 89 ini, kedua orangtuanya berasal dari Mojowarno, Jombang. Mereka adalah Kartiman dan Moerwati. Pasangan tersebut dikaruniai duabelas buah hati, Soedarmo yang nomor sebelas.

"Saya dilahirkan di Deli, Sumatra, sebab ketika itu Bapak kerja di sana, di sebuah perkebunan kopi. Seharusnya, ketika ada jemaat yang melahirkan, pendeta selalu mencatat tanggal lahir. Namun waktu itu di tempat orangtua saya bekerja --Deli-- tidak ada gereja. Itulah mengapa saya tidak tahu kapan harus merayakan hari lahir. Beruntung, saya masih diberitahu tahun kelahiran, 1926."

Tak lama setelah itu, orangtuanya pulang kembali ke tanah Jawa. Di usianya yang keempat tahun, Soedarmo dibabtis di sebuah GKJW di Mojowarno, tanggal 6 April 1930.

"Empat tahun kemudian, adik perempuan saya lahir. Kini, dari duabelas bersaudara, yang hidup tinggal saya dan dia."

Ketika Soedarmo berusia 23 tahun, ia bekerja di Djawatan Listrik dan ditempatkan di Surabaya. Baru sepuluh tahun kemudian, 1959, Soedarmo ditempatkan di Kalisat. Menurutnya, antara tahun 1959 hingga 1960an, pelanggan listrik di Kalisat kurang lebih 500 pelanggan. Watt masih 30, 40, 50, 100. Paling besar 200 hingga 300 watt saja, dan itu hanya dimiliki oleh pengusaha. Biasanya pengusaha Tionghoa generasi kedua yang tinggal di sini --Kalisat. Ketika itu masyarakat masih mengenal PLN dengan nama ANIEM.

"Pertama tinggal di Kalisat, 1959, hampir setiap hari saya melihat mayat yang digotong oleh beberapa orang. Ditandu dengan bambu seadanya, lalu ditutupi sewek. Kadang hanya ditutup sarung. Mereka korban CAROK. Kadang kondisi mayat sudah 'dedel-duel' penuh luka bacok. Lha saya berasal dari keluarga Jawa, tidak mengenal gitu-gitu. Ya tentu saja saya takut. Waktu itu saya segera menghadap pimpinan, memohon minta ditugaskan di Surabaya saja. Oleh pimpinan tidak dituruti, saya tetap ditempatkan di Kalisat. Ya sudah, saya bertahan. Membaur. Lama-lama terbiasa. Masih takut, tapi ora nemen-nemen."

Berdasarkan latar keluarganya, tidak berlebihan jika Soedarmo memiliki keyakinan Kristen Jawi Wetan. Ia mendengar kabar jika di Sumberpakem --di kecamatan sebelah Kalisat, Sumberpakem, berbatasan dengan Sukowono-- ada GKJW Pasamuan, dengan kitab injil tertulis dalam bahasa Madura. GKJW Pasamuan di Jember ini terbilang tua, berdiri sejak 23 Juli 1882. Tangal tersebut diambil bukan tanpa alasan. Di hari itulah seorang misionaris Kristen bernama Dr. Esser --yang berada di Sumberpakem-- berhasil memiliki seorang pengikut setia berdarah Madura, Ebing namanya. Menurut buku berjudul Babad Zending Ing Tanah Djawa yang ditulis JD. Wollterbeek, Ebing  merupakan penduduk pertama di Jember yang beragama Kristen. Ia dibaptis pada 23 Juli 1882.

"Waktu pertama kali saya di Kalisat, 1959, ketika itu juga ada Jawi Wetan, namun masih berupa perkumpulan-perkumpulan. Tak ada gereja. Saya gabung dengan mereka yang kesemuanya pendatang. Kami bikin acara berpindah-pindah, dari satu rumah ke rumah jemaat yang lain. Masalahnya, rumah tangga jika dibuat gereja hukumnya tidak boleh. Kalau hanya untuk kumpulan atau syukuran baru boleh. Kalau gereja di sebuah rumah tangga, terus menetap, tidak boleh. Sejak itu kami mengusahakan keberadaan gereja ini. Pusatnya tentu GKJW Sumberpakem. Di sini tak ada nama, hanya dikenal dengan GKJW Ajung-Kalisat."

Kami bertanya tentang kejadian ditutupnya GKJW Kalisat oleh Camat pada 19 Januari 1998, apakah ada konflik agama? Soedarmo dengan tegas menjawab, tidak ada! Itu hanya tentang belum jelasnya status tanah saja. Jika tidak salah, di masa kepemimpinan Camat Fadala. Masalahnya, di bulan dan tahun yang sama, di negeri ini sedang ada beberapa kasus gereja. Mungkin itu yang membuat orang-orang (kami) berpikir tentang konflik agama. Ternyata tidak sama sekali.

Oleh Soedarmo, diajaknya kami masuk ke gereja berukuran 13x10 meter persegi ini. Hanya ada beberapa kursi jemaat di sana. Tepat di belakang gereja, terdapat sebuah gumuk tinggi menjulang. Orang-orang Kalisat kadang menyebutnya, gumuk Pak Darmo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun