Mohon tunggu...
Abu Nawas
Abu Nawas Mohon Tunggu... Santri IRo-Society Bertinggal di Jayapura

Hobbi membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Maafkan Aku, Ramadan!

23 Maret 2025   05:08 Diperbarui: 22 Maret 2025   19:14 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ungkapan Rasa dalam Tulisan

Ramadan telah berlalu, meninggalkan jejak kenangan dan kesempatan yang tak selalu dimanfaatkan dengan baik. Banyak yang menyambutnya dengan semangat, namun tak sedikit pula yang melewatkannya tanpa perubahan berarti. Aku termasuk dalam golongan yang kedua---terlalu sibuk dengan dunia hingga lupa bahwa Ramadan adalah bulan penuh ampunan. Kini, saat ia pergi, ada sesak di dada dan air mata yang ingin luruh. Maafkan aku, Ramadan, karena tak memanfaatkanmu sebaik mungkin!

1. Kala Waktu Berlalu Tanpa Makna

Sejak awal Ramadan, aku sudah bertekad untuk menjadikannya lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Aku ingin lebih rajin membaca Al-Qur'an, lebih sering shalat malam, dan lebih banyak bersedekah. Namun, hari-hari berlalu begitu cepat, dan aku justru lebih sibuk dengan pekerjaan dan urusan duniawi. Alarm sahur sering kali kuabaikan, tadarus Al-Qur'an hanya dilakukan sekadarnya, dan shalat tarawih lebih sering kutinggalkan karena alasan kelelahan. Aku sadar, setiap hari yang berlalu adalah peluang yang terbuang, tapi aku selalu berpikir masih ada esok hari.

Sampai suatu malam, seorang sahabat mengingatkanku dengan lembut, "Bagaimana kalau Ramadan ini adalah yang terakhir bagimu?" Kalimat itu seperti tamparan keras yang membuatku terdiam. Aku teringat seorang kerabat yang tahun lalu masih berbuka puasa bersamaku, tapi kini telah pergi selamanya. Aku melihat diriku sendiri---sehat, masih diberi kesempatan, tetapi mengabaikannya. Apa jadinya jika Ramadan ini benar-benar yang terakhir untukku?

Aku mencoba berubah, meskipun waktu yang tersisa tinggal sedikit. Aku bangun untuk shalat malam, menangis dalam sujud panjang, dan mulai mengejar ketertinggalan tilawah. Tapi ada perasaan bersalah yang tak bisa hilang. Kenapa aku harus menunggu hampir di ujung Ramadan untuk mulai serius? Kenapa aku harus menunggu kehilangan sebelum benar-benar menghargai?

2. Sebuah Kesempatan yang Hampir Hilang

Aku teringat kisah seorang wanita tua di kampungku. Ramadan tahun lalu, ia dikenal sebagai sosok yang tak pernah meninggalkan shalat tarawih di masjid, meskipun langkahnya tertatih. Suaranya selalu terdengar dalam lantunan doa di setiap malam. Namun tahun ini, ia hanya bisa berbaring di tempat tidur karena sakit. Ia menangis, bukan karena penyakitnya, tetapi karena rindunya kepada Ramadan. "Aku ingin kembali ke masjid, ingin merasakan nikmatnya sujud di sepertiga malam," katanya lirih kepada putrinya.

Kisah itu membuatku merasa semakin malu. Aku masih memiliki tubuh yang sehat, tapi justru lebih memilih beristirahat daripada bersujud. Aku masih bisa membaca Al-Qur'an dengan mata yang sempurna, tapi lebih sering sibuk dengan layar ponsel. Aku masih bisa bersedekah, tapi selalu menunda-nunda. Wanita tua itu tidak kehilangan Ramadan karena kesibukannya, tetapi karena kondisi yang tidak bisa ia lawan. Sementara aku? Aku kehilangan Ramadan karena kelalaianku sendiri.

Malam itu aku menangis lebih lama dari sebelumnya. Aku merasa seperti seseorang yang diberi emas, tetapi malah menukarnya dengan batu. Ramadan adalah hadiah besar dari Allah, namun aku justru menyia-nyiakannya. Aku menyesali semua waktu yang terbuang, tapi apakah penyesalan ini cukup untuk menebusnya?

3. Menjemput Ampunan di Detik Terakhir

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun