Mohon tunggu...
abumasyar
abumasyar Mohon Tunggu... Mahasiswa - single
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

saya hanya manusia biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen Seru

11 Desember 2021   08:19 Diperbarui: 11 Desember 2021   08:24 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

                                                                                        BIAR DIA PERGI MENYUSULNYA

                                                                           

          Pagi ini seperti pagi biasanya. Aktivitas rumahan masih tetap berjalan seperti biasanya. Anak -- anak mulai bersiap untuk berangkat ke sekolah. Aku dan ibu masih sibuk menyiapkan sarapan kami. Bapak pun sudah mulai memanasi mesin motornya sedari tadi. Dan dia, lelaki tua itu. Ia kakekku yang selalu duduk di teras memandangi bunga mawar yang ditanam nenekku di halaman rumah kami. Entah apa yang ia pikirkan. Dugaanku kakek pasti memikirkan nenek. Semenjak kepergian nenek, kakek selalu saja termenung di teras. Memang nenek dahulu sudah sering pergi sendirian tanpa kakek, ke desa sebelah untuk menjadi buruh batik dan baru akan pulang setelah tiga atau empat hari. Karena memang keluarga kami bukanlah keluarga yang cukup mampu, sehingga nenek bekerja untuk memenuhi kebutuhannya dan kakek. Pernah beberapa kali bapak melarangnya, namun ia selalu beralasan tidak ada pekerjaan di rumah sehingga ia merasa bosan di rumah. Katanya juga biar tidak merepotkan anak -- anaknya.

                   Tapi, kepergiannya kali ini berbeda. Bukan hanya untuk tiga atau empat hari, bahkan untuk selamanya. Saking cintanya kakek pada nenek sampai -- sampai ia tidak bisa kalau harus berpisah dengan nenek. Bagaimana tidak, mereka telah bersama -- sama selama sekitar lima puluh tahun. Aku tidak menyangkal jika kakek menjadi seperti sekarang ini. Tidak mudah bagi kakek untuk merelakan kepergian nenek. " Mending mati saja aku menyusul nenekmu." ujarnya beberapa hari setelah meninggalnya nenek. Itulah kalimat yang selalu ia katakana pada anak -- anaknya.

        Hari ini masih saja kakek duduk di sana. Ku amati raut wajahnya. Ada yang berbeda kali ini. Biasanya wajahnya dingin, tatapannya kosong, tak ada sedikitpun guratan senyum di bibirnya. Tapi kali ini ku perhatikan dengan saksama, ada senyum simpul terlukis di wajah tuannya itu. Aneh sekali kirannya. Apa yang sedang dipikirkan kakek agaknya. Terbersit sedikit kebahagiaan di hatiku ketika melihatnya tersenyum kembali.

               Kuselesaikan pekerjaanku lalu menghampiri kakek. Aku menarik kursi di samping pintu dan duduk tepat di samping kakek. Ia melihat ke arahku dengan senyum yang telah lama sirna. "Kakek lelah merindukan nenekmu." katanya tanpa kutanyai terlebih dahulu. Aku tidak tahu apa yang harus ku tanyakan. Tiba -- tiba ia beranjak ke dalam lalu masuk ke kamarnya. Menutup pintunya pula. Ibu, bapak, dan adik -adikku telah duduk di ruang makan. Aku pun turut duduk di sana. "Ada apa dengan kakekmu? Tumben sekali pagi -- pagi sudah masuk kamar saja." tanya ibu. Kugelengkan kepalaku. "Entahlah bu, aneh sekali kakek pagi ini." jawabku. "Aneh kenapa?" tanya bapak padaku. "Coba bapak lihat sendiri." ujarku.

            Beberapa menit kemudian aku dan adikku berangkat. Aku pergi ke kursus menjahitku, dan adik -- adikku ke sekolah mereka tentunya. Pikiranku tak terlalu fokus pada kursusku kali ini, perkataan kakek selalu saja terngiang -- ngiang di telingaku. Apa maksud perkataanya itu. Aku merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatiku tentang kakek. Waktu kursus pun masih cukup lama, tapi aku ingin sekali segera pulang. Hatiku benar -- benar khawatir.

               Aku sungguh terkejut ketika tiba -- tiba ponselku berdering di sakuku. Hatiku semakin gelisah rasanya. Kulihat ke layar ponselku, tumben sekali ibu menelpon di tengah kursusku seperti ini. Ku angkat telpon dari ibu dengan ragu. "Halo, bu. Ada apa?" tanyaku. Tak ada jawaban dari ibu. "Ibu, kenapa menelpon tiba -- tiba begini?" tanyaku sekali lagi. Hatiku tersentak ketika mendengar tangisan ibu pecah. "Nak, pulanglah sekarang!" katanya sambal terisak. "Kakekmu, nak. Kakekmu!" sambungnya. Mendengar kata kakek, tanpa berpikir panjang aku kemasi barang -- barangku dan pamit pada guru kursusku. Aku beralasan ada urusan keluarga yang sangat mendadak. Aku tidak sempat menunggunya menjawab dan aku begitu saja keluar dari sana dan tergesa -- gesa pulang.

                Kukayuh sepedaku dengan begitu cepat. Hatiku gelisah tak karuan. Aku tidak ingin firasatku tentang kakek terjadi. Entah mengapa rasanya jarak rumahku begitu jauh. Kutambah kecepatan sepedaku hingga akhirnya aku sampai di jalan depan rumahku. Bertambah gelisah hatiku ketika melihat rumahku telah ramai berdesakkan warga. Aku turun dari sepedaku, kujatuhkan begitu saja di halaman. Hatiku berdegup dengan sangat kencang. Perlahan kulangkan kakiku memasuki rumah. Terlihat ibu menangis tersedu -- sedu di depan pintu kamar kakek. Warga di sana hanya menyaksikan dan selalu mengungkapkan keterkejutannya masing -- masing. Kudekati ibu, mataku mulai terasa panas membendung air mata yang ingin segera tumpah. "Bu..." panggilku. Ibu melihat ke arahku. Lalu menunjuk ke arah ranjang di kamar kakek. Aku berdiri melangkah masuk. Baru sampai di ambang pintu, seluruh tubuhku bergetar. Bendungan air mataku seketika bertumpah ruah. Aku ambruk tak kuasa menahan beban tubuhku. Aku merangkak mendekati ranjang kakek. Kusentuh tangannya yang dingin dan bersimbah darah. Tak ada kata yang bisa keluar dari mulutku. Aku bungkam hanya menangis. Memandang wajah tua itu, yang selama ini telah menemani hari -- hariku, tertawa bersama, bercanda, dan berbagi cerita. Kini ia telah terbaring tanpa nyawa. Dingin tak bicara.

                    Tak kusangka akan terjadi seperti ini. Perkataan kakek pagi ini mengartikan hal yang baru saja terjadi. Beberapa waktu kemudian tangisku mulai mereda. Tapi aku masih saja bersimpuh di sana. Jenazah kakek diangkat oleh bapak dan warga -- warga lain. Aku melihat kakek digotong ke luar kamar. Aku pun beranjak menghampiri ibu yang masih tersedu di atas kursi. Kuelus punggungnya dan ia memelukku. "Kenapa begini, nak?" tanyanya. Kuhembuskan napas dalam. "Biarlah, bu. Kakek ingin pergi bersama nenek. Kakek bilang padaku kalau dia sudah lelah merindukan nenek. Biar ia pergi menyusulnya. Biar tenang jiwanya." kataku pada ibu. Ibu hanya mengangguk. Ia mulai menerima kepergian kakek ini. Bapak dan para warga sudah mulai mengurusi jenazah kakek.

       Proses pemakaman kakek berlangsung hening. Tak ada tangisan yang terdengar. Hanya terlihat wajah -- wajah sembab yang mencoba mengikhlaskan kepergian kakek ini. Kakek dimakamkan di samping pusara nenek. Mungkin memang itu yang ia inginkan. Semoga kakekku tenang di alam sana. Selamat jalan kakek.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun