Mohon tunggu...
Abu Mamur MF
Abu Mamur MF Mohon Tunggu... Guru - Belajar Menjadi Manusia

Penggemar buku, puisi, kopi dan singkong rebus

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Secangkir Mimpi di Kedai Kopi

30 November 2017   01:25 Diperbarui: 30 November 2017   01:41 1184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Andi berpose di Kedai Kopi miliknya

Tak terasa, tepat di saat lebaran, tabungannya telah mencapai dua juta rupiah. Ia begitu sumringah. Ia merasa perjuangannya tidak sia-sia. Dua juta rupiah! Sungguh nominal yang cukup besar bagi Andi. Ia sempat tergoda ingin membeli motocross bekas. Nantinya akan dimodifikasi sedemikian rupa. Agar bisa dikendarai tanpa kaki. Memiliki motocross adalah impiannya semejak masih bocah. Sekaranglah saatnya meraih impian itu, pikirnya.

Andi kemudian merenung. Bukankah lebih baik uang itu digunakan sebagai modal usaha. Sehingga uang pun bisa berkembang. Syukur-syukur kelak, dari situ ia bisa membeli motocross. Ia lantas bertukar pikir dengan kakaknya. Alhasil, buka kedai kopi pilihannya. Kebetulan ada saudara di Semarang yang buka usaha kedai kopi. Ia melatih Andi cara meracik kopi. Berulang-ulang. Hingga kopi racikan Andi layak dinikmati.

Afandi, kakaknya, mendesainkan spanduk untuk kedai kopi Andi. Bukan, ia bukan desainer. Ia seorang guru swasta. Desainnya pun sederhana. Tapi setidaknya bisa menghemat biaya. Bagi Andi, yang penting spanduk itu ada. Meski ala kadarnya. Sehingga orang yang kebetulan lewat bisa tahu keberadaan kedai kopinya. "Pelayanan dan citarasa, itulah yang utama," ungkapnya.

Andi mulai membeli peralatan yang dibutuhkan. Ada yang dibeli secara kontan. Ada pula dengan cara kredit. Ya, mengingat keterbatasan anggaran yang dimiliki. Tidak mengapa, asal ia bisa buka usaha. Ia ingin belajar hidup mandiri. Ia tidak ingin berpangku tangan dan merepotkan orang lain. Itu saja.

***

Andi menjadi tuna daksa bukan sejak lahir. Kondisi demikian bermula pada tahun 2008. Saat itu ia duduk di kelas dua SMP. Ia tengah mengayuh sepeda di jalur pantura. Tiba-tiba menabrak pintu mobil yang sedang dibuka. Ia terjatuh ke tengah jalan dan ditabrak truk gandeng yang sedang melintas. Kedua kakinya patah dan salah satunya mesti diamputasi. Tentu butuh biaya tak sedikit. Ratusan juta rupiah. Keluarganya pun menjual rumah satu-satunya. Di rumah sang nenek mereka pindah. Andi masih punya satu kaki. Sejumlah pen bersarang di dalamnya.

Selang beberapa bulan, Ia kembali di bawa ke rumah sakit untuk proses skin graft. Kali ini kakaknya, Afandi, mengajukan proposal. Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes membuatkan memo agar Andi dirawat tanpa biaya. Dua minggu ia dirawat. Ia hanya ditemani kakak keduanya, Dedi. Sebab, saat itu bapaknya juga sakit parah dan dirawat di rumah sakit. Ibu Andi bersama Afandi, kakak pertamanya mesti menunggui sang bapak.

Usai dua minggu, Andi dibawa pulang. Sampai rumah, bapaknya telah tiada. Butiran-butiran airmata pecah. Jatuh berderai membasahi pipi Andi. Perlahan-lahan. Perlahan-lahan.

Sekira setahun Andi rawat jalan. Namun, lambat laun kakinya membusuk dan mesti diamputasi. Karena jika dibiarkan, bisa berbahaya. Andi pun kembali dibawa ke rumah sakit.

Proses amputasi selesai. Total biaya semestinya sebelas juta rupiah. Sang dokter berbaik hati. Ia memahami kondisi keluarga Andi. Dokter itu pun tidak mau dibayar sama sekali. Pihak pengelola rumah sakit juga memberikan keringanan. Hanya biaya rawat inap dan obat-obatan sebesar lima juta yang mesti dibayar. Andi tak lupa mengucapkan terima kasih.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun