Mohon tunggu...
Apoteker Ilham Hidayat
Apoteker Ilham Hidayat Mohon Tunggu... Apoteker/Founder Komunitas AI Farmasi - PharmaGrantha.AI/Rindukelana Senja

AI Enhanced Pharmacist

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Game Theory dan Antibiotik : Mengapa Resep Dokter Bukan Jaminan Bebas AMR

31 Juli 2025   15:04 Diperbarui: 31 Juli 2025   15:04 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kredit gambar: Ilustrasi buatan AI menggunakan ChatGPT/DALL*E oleh Ilham Hidayat (dokumen pribadi)

Dalam kondisi seperti ini, satu aktor yang bertindak idealis (misalnya dokter yang menolak memberi antibiotik jika tak perlu) justru bisa "dirugikan" secara sosial atau finansial, karena pasien bisa berpaling ke penyedia layanan lain yang lebih permisif. Maka, tanpa perubahan sistem, perilaku idealis bisa kalah dalam permainan.

Diskusi Kritis: Ketika "Wajib Resep" Tak Lagi Cukup

Kampanye "antibiotik hanya dengan resep dokter" tentu memiliki dasar hukum dan niat baik. Ia berusaha membatasi akses sembarangan terhadap obat kuat ini. Namun, kampanye tersebut menyimpan paradoks besar: ia seolah menempatkan dokter sebagai satu-satunya gerbang solusi, padahal praktik klinis menunjukkan bahwa dokter pun bisa keliru.

Fakta bahwa 30 persen resep antibiotik di Amerika Serikat tidak tepat guna (CDC, 2016) adalah alarm penting. Ini menandakan bahwa masalah bukan semata pada siapa yang memberi antibiotik, tetapi bagaimana keputusan itu dibuat. Jika sistem resep hanya bersifat administratif---tanpa edukasi, tanpa pemantauan kualitas prescribing, dan tanpa kolaborasi dengan apoteker---maka ia hanya akan menjadi simbol, bukan solusi.

Di sisi lain, sistem gatekeeping yang terlalu kaku bisa menciptakan resistensi sosial. Pasien merasa dikekang, dokter merasa dituntut, apoteker merasa diabaikan. Dalam kondisi seperti ini, pembangkangan sistem bisa terjadi: dari praktik prescribing defensif, over-prescribing, hingga dispensasi antibiotik tanpa pengawasan.

Solusi yang dibutuhkan bukan sekadar resep, tapi perubahan paradigma:

  • Resep harus berbasis pengetahuan, bukan formalitas.
  • Dokter tidak boleh bekerja sendiri. Apoteker harus dilibatkan dalam evaluasi penggunaan antibiotik.
  • Pasien perlu diberdayakan, bukan disalahkan.

Paradoks "wajib resep" menunjukkan bahwa kita sedang butuh kampanye yang lebih cerdas, bukan lebih keras.

Solusi dan Simpulan: Dari Regulasi Menuju Koordinasi

Jika resistensi antimikroba adalah hasil dari permainan kepentingan dan perilaku aktor yang rasional secara individu, maka solusinya tidak cukup hanya dengan memperketat aturan. Kita perlu mengubah struktur permainannya.

Pertama, kampanye publik perlu direvisi: dari sekadar "wajib resep" menjadi "gunakan antibiotik secara tepat, bersama tenaga kesehatan yang kompeten." Ini membuka ruang kolaboratif antara dokter, apoteker, dan pasien.

Kedua, diperlukan sistem yang memungkinkan dokter dan apoteker saling mengoreksi dan mendukung, bukan bekerja dalam silo masing-masing. Kolaborasi interprofesional bisa menjadi benteng rasional dalam menghadapi tekanan eksternal---baik dari pasien maupun sistem layanan kesehatan.

Ketiga, kita butuh penguatan sistem informasi dan audit penggunaan antibiotik. Tanpa data, kita hanya menebak-nebak. Tanpa evaluasi, kita mengulang kesalahan yang sama.

Dan akhirnya, kita perlu menyadari bahwa dalam game theory, solusi terbaik kadang bukan strategi individu yang menang, melainkan koordinasi kolektif yang menyelamatkan semua pemain. Dalam konteks AMR, itu berarti: edukasi, kolaborasi, dan keberanian untuk berubah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun