"Apotek adalah tempat praktik apoteker. Tapi bagaimana jika apoteknya ada, tapi apotekernya tergantikan profesi lain?"
Prolog: Di Balik Kata 'Plasma'
Dalam dunia biologi, plasma adalah komponen cair darah yang membawa zat penting ke seluruh tubuh. Tapi dalam dunia kebijakan kesehatan kita, 'Plasma' adalah nama lain dari degradasi profesi apoteker yang dibungkus jargon kemandirian desa.Â
Juknis Apotek Desa/Kelurahan Percontohan 2025 telah meresmikan lahirnya entitas baru bernama Apotek Plasma. Ia sah beroperasi sebagai apotek, tapi tanpa kehadiran apoteker di lokasi. Maka, mulai hari ini, jangan heran jika di suatu desa Anda temukan apotek yang dikelola oleh tenaga non-apoteker, dan itu legal.
Antara Niat Baik dan Desain Buruk
Kita tidak bisa menolak niat baik negara untuk memperluas akses obat sampai ke desa. Itu patut diapresiasi. Namun sayangnya, niat baik ini diiringi oleh desain kebijakan yang secara sistemik melepas keterikatan apotek terhadap apoteker.Â
Alih-alih memperkuat peran profesional apoteker dalam sistem kesehatan primer, Juknis ini justru menciptakan ruang yang semakin menjauhkan apotek dari apotekernya sendiri.
Bagaimana tidak? Apotek Plasma dalam juknis ini:
- tidak wajib memiliki apoteker di lokasi,
- dikelola oleh tenaga vokasi farmasi atau bahkan tenaga kesehatan lain,
- hanya disupervisi secara administratif oleh apoteker dari Apotek Inti,
- tetap boleh menyerahkan obat, alat kesehatan, bahkan melayani edukasi.
Padahal kita tahu, praktik keapotekeran bukan sekadar urusan menyerahkan obat. Ia adalah praktik profesi, dengan kompetensi, akuntabilitas, dan etika.
Supervisi atau Sekadar Formalitas?
Kata 'supervisi' di sini menjadi pasal karet. Tidak dijelaskan bentuknya, frekuensinya, atau batas kewenangannya. Apakah cukup lewat WhatsApp? Zoom?Â
Kapan terakhir kali apoteker datang ke lokasi plasma? Dalam praktiknya nanti, bisa jadi Apotek Plasma berjalan seperti 'warung obat bersubsidi', tanpa kontrol mutu atau akuntabilitas etik profesi.