Keterlibatan publik---atau kewaspadaan sipil---telah terbukti mampu berkontribusi dalam menekan penyalahgunaan antibiotik. Beberapa kampanye global seperti "Antibiotics: Handle with Care" yang diinisiasi oleh WHO sejak 2015 berhasil menurunkan permintaan antibiotik tanpa resep di berbagai negara. Di Belanda dan Swedia, negara dengan resistensi rendah, budaya bertanya dari pasien kepada dokter menjadi salah satu faktor utama yang menjaga rasionalitas penggunaan antibiotik. Sistem edukasi publik yang menekankan pemahaman bahwa tidak semua infeksi butuh antibiotik telah berhasil mengubah perilaku populasi.
Resep bukan mantra sakral. Ia adalah hasil dari dialog klinis yang seharusnya rasional dan terbuka. Dan dalam dialog itu, pasien bukan sekadar pendengar pasif---mereka berhak, bahkan perlu, untuk bertanya.
Dalam systematic review yang dipublikasikan oleh Valerie R. Burstein et al. di jurnal BMC Public Health (2020) berjudul "Communication interventions to promote the public's awareness of antibiotics", disimpulkan bahwa edukasi publik yang disampaikan secara komunikatif---terutama melalui media visual, kampanye sosial, dan pendekatan berbasis komunitas---mampu meningkatkan literasi antibiotik masyarakat. Ketika masyarakat memahami kapan antibiotik diperlukan (dan kapan tidak), mereka lebih cenderung menerima keputusan non-antibiotik dari penyedia layanan kesehatan. Intervensi ini bahkan terbukti meningkatkan kepuasan pasien, tanpa meningkatkan ketidakpatuhan atau komplain---sebuah temuan penting yang meruntuhkan mitos bahwa edukasi justru akan menimbulkan keraguan terhadap dokter.
Lebih jauh lagi, dalam studi survei nasional di Inggris yang dilakukan oleh Alex Moore, et al. dalam artikel "Alternative approaches to managing respiratory tract infections: A survey of public perceptions" yang dimuat di BMJ Open (2021), ditemukan bahwa mayoritas responden mendukung pendekatan non-antibiotik dalam penanganan infeksi saluran pernapasan ringan, asalkan pendekatan tersebut dijelaskan secara transparan. Studi ini menegaskan bahwa masyarakat tidak hanya mampu menerima alternatif selain antibiotik, tetapi juga merasa lebih dihargai ketika dokter melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan.
Dalam skala yang lebih luas dan lintas negara, Hathairat Kosiyaporn dan kolaboratornya dalam systematic review berjudul "Surveys of knowledge and awareness of antibiotic use and antimicrobial resistance in general population" yang diterbitkan di PLOS ONE (2020) menganalisis berbagai survei populasi umum dari berbagai negara. Mereka menyimpulkan bahwa peningkatan pengetahuan masyarakat tentang antibiotik dan resistensi secara signifikan berkorelasi dengan perilaku konsumsi antibiotik yang lebih rasional. Temuan ini memperkuat gagasan bahwa edukasi dan pemberdayaan sipil bukan hanya retorika idealis, tapi strategi nyata dalam menghambat laju resistensi antimikroba.
Dengan kata lain, keberanian pasien untuk bertanya bukan ancaman bagi profesionalisme tenaga medis dan kesehatan. Sebaliknya, ia adalah bentuk kolaborasi menuju praktik yang lebih aman, lebih bijak, dan lebih manusiawi. Pertanyaan-pertanyaan seperti:
- "Ini infeksi virus atau bakteri?"
- "Apakah antibiotik memang perlu diberikan?"
- "Apa risikonya jika saya meminumnya tanpa indikasi yang tepat?"
Kita sering dengar kalimat: "Jangan sembarang minum antibiotik." Tapi bagaimana jika antibiotik itu disarankan oleh otoritas klinis itu sendiri---dokter Anda?
Maka disinilah letak masalahnya: kalau pemberi resep saja tidak yakin, bagaimana mungkin kita berharap publik mengerti cara pakai antibiotik yang benar?
Sudah saatnya pasien diberdayakan, bukan dibungkam. Pasien boleh percaya dokter, tapi juga berhak bertanya:
- "Ini infeksinya virus atau bakteri?"
- "Kenapa perlu antibiotik?"
- "Apa pilihan lain kalau saya tunggu dulu?"
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini bukan bentuk pembangkangan, melainkan bentuk kewaspadaan sipil.
Antibiotik Bukan Permen
Kita hidup di era ketika antibiotik dibeli lebih mudah daripada vitamin. Di beberapa tempat, bahkan bisa dibeli per butir di tempat yang tanpa hak menyerahkan obat keras. Tapi kita tak bisa terus membiarkan budaya ini tumbuh.