Mohon tunggu...
Abu Fathan
Abu Fathan Mohon Tunggu... wiraswasta -

Abu Fathan adalah nama pena saya. Fathan saya ambil dari nama depan anak pertama saya. Nama asli saya Badiatul Muchlisin Asti. Pernah menekuni dunia jurnalistik sebagai Jurnalis, Redpel, dan PimRed; menulis lebih dari 40 buku dan diterbitkan oleh beberapa penerbit di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, dan Solo; menyunting puluhan buku; mengisi pelatihan dan event kepenulisan dan jurnalistik; owner Oase Qalbu Group, Ketua Umum Yayasan Mutiara Ilma Nafia, dan Ketua Umum JPIN Pusat.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Agar Tak Terjebak Plagiarisme, Mengutip Sumber Harus Mengindahkan Etika

14 Januari 2012   04:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:54 1290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13265164751933783057

[caption id="attachment_163681" align="aligncenter" width="379" caption="Cover buku Jejak 101 Tokoh Islam Indonesia"][/caption]

Tahun 2009, saya menulis buku berjudul Jejak 101 Tokoh Islam Indonesia, bersama adik saya Badiatul Roziqin, dan rekan saya Junaidi Abdul Munif. Di dalam buku itu berisi riwayat hidup 101 tokoh Islam Indonesia yang memiliki kontribusi bagi perkembangan Islam di tanah air dan juga bagi kemajuan bangsa Indonesia secara umum. Buku itu diterbitkan oleh penerbit E-Nusantara Yogyakarta.

Salah satu tulisan di buku itu, yakni profil KH. Zainul Arifin, kebetulan yang saya tulis, sempat menuai protes dari Bapak Ario Helmy, salah seorang ahli waris (cucu) dari KH. Zainul Arifin. Intisari protes itu meliputi dua hal: Pertama; di dalam tulisan itu, ada narasi (sekitar satu atau dua alinea) yang saya kutip dari sebuah sumber, yang kebetulan sumber itu adalah karyanya, namun saya tidak mencantumkan asal sumbernya.

Kedua; di bagian lain tulisan itu, saya mengutip sebuah sumber, dari sumber lainnya lagi, namun menurutnya, sumber itu datanya tidak valid, sehingga kemudian saya ‘dituduh’ telah membuat fitnah dan pelecehan terhadap KH. Zainul Arifin.

Menanggapi protes itu, sebagai penulis saya harus bersikap ksatria, mau berlapang dada meminta maaf, bila memang saya bersalah; dan memberikan penjelasan seperlunya bila diperlukan, tentu dengan penjelasan yang logis, argumentatif, dan realistis, dalam arti tidak dibuat-buat. Ketika itu, inilah surat tanggapan yang saya kirim via e-mail kie Pak Ario Helmy:

Kepada Yth:

Bapak/Saudara Ario Helmy

Di Jakarta

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Sebelumnya saya mengucapkan maaf yang setulusnya atas keterlambatan kami merespons surat Bapak kepada kami penyusun buku “101 Jejak Tokoh Islam Indonesia ”. Selanjutnya ada beberapa poin yang ingin kami sampaikan sehubungan dengan surat yang Bapak sampaikan kepada kami, sebagai berikut:

1.Kami secara tulus mengucapkan terima kasih atas apresiasi dan koreksi kritis dari bapak atas buku yang kami susun, terutama untuk item profil KH. Zainul Arifin. Masukan dan koreksi kritis seperti ini memang sangat kami harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan buku yang kami susun.

2.Ketika kami menyusun buku itu, sungguh tak ada sebersit atau setitik pun niat di hati kami untuk melecehkan bahkan apalagi memfitnah tokoh tertentu melalui profil yang kami hadirkan. Sungguh, sama sekali tidak ada, bahkan seberat zarrah pun. Justru motivasi kami adalah menghadirkan mozaik para tokoh Islam yang telah memberi arti penting dan andil positif-konstruktif dalam kemajuan bangsa ini. Karena itu, sebisa mungkin kami menonjolkan kiprah dan sumbangsihnya.

3.Dalam menyusun dan memasukkan tokoh pun, kami tidak tebang pilih. Tetapi semua komponen umat Islam dengan beragam latar belakang dan sketsa pemikiran, kami masukkan sesuai dengan kiprahnya masing-masing, tentu sesuai subyektif kami.

4.Dan tentu dalam menulis profil seorang tokoh, kami tidak sembarangan menulis. Tetapi, karena tidak melakukan riset langsung, kami mengandalkan data yang ada, karena memang sejak awal buku ini tidak diperuntukkan sebagai sebuah karya utuh (komprehensif dan referensial) mengenai biografi seorang tokoh. Melainkan hanya mengkompilasi sekilas biografi tokoh dengan segala kiprah yang menonjol yang telah dilakukannya. Harapannya, bisa dijadikan sebagai motivasi dan inspirasi bagi masyarakat Islam Indonesia, terutama generasi mudanya.

5.Adapun data penulisan, termasuk latar pendidikan beliau yang Bapak persoalkan, juga tentang istri yang beliau tinggalkan, termasuk juga fotonya, semua data kami peroleh dari tulisan mengenai profil KH. Zainul Arifin di situs www.nu.or.id. Sekedar informasi, tulisan di situs itu juga menjadi rujukan utama penulisan profil KH. Zainul Arifin di rubrik Kisah Mujahid majalah Al-Kisah edisi No. 23/5-18 November 2007 dengan judul “KH. Zainul Arifin: Negarawan melalui Jalur Politik“ dengan juga memuat foto KH. Zainul Arifin seperti yang terdapat di cover buku kami. Sayangnya, kami khilaf tidak mencantumkan sumbernya dalam daftar pustaka. Untuk itu, dengan kerendahan hati kami mohon maaf yang setulus-tulusnya.

6.Bila Bapak berkenan, kami meminta beberapa data seperlunya mengenai sosok KH. Zainul Arifin untuk menjadi bahan revisi dan pelurusan, karena itulah yang kami harapkan.

Demikian tanggapan dari kami, sekali lagi kami memohon maaf, dan terima kasih atas segala perhatiannya. Salam silaturahmi dari kami.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

a/n Penyusun

Badiatul Muchlisin Asti

Alhamdulillah, dengan surat tanggapan yang kami kirimkan itu, Bapak Ario Helmy dapat menerima penjelasan kami. Bahkan tak lama setelah itu, secara pribadi saya diundang untuk menghadiri Perayaan 1 Abad KH. Zainul Arifin di Hotel Borobudur, Jakarta. Namun sayang, saya tidak bisa hadir karena saya sudah ada acara lain yang tidak bisa saya tinggalkan.

Pelajaran Etika

Dari kisah di atas, saya mendapatkan pelajaran berharga, salah satunya tentang etika mengutip sumber. Dalam penulisan karya ilmiah, termasuk karya ilmiah populer, mengutip sumber merupakan keniscayaan. Namun, untuk menghindari plagiarisme dan kemungkinan pelanggaran hak cipa penulis lain, seorang penulis harus cermat dan teliti dalam pengutipannya, termasuk memperhatikan etika pengutipan sumber.

Dalam arti kata lain, mengutip sumber luar dalam penulisan karya ilmiah, termasuk karya ilmiah populer, sangat boleh dilakukan, bahkan dianjurkan. Namun, penulis harus jujur dalam pengutipan. Ada setidaknya tiga etika pengutipan sumber yang harus diindahkan oleh penulis, sebagaimana yang disebutkan oleh Wishnubroto Widarso dalam bukunya Pengalaman Menulis Buku Nonfiksi (Kanisius, 2001), yakni:

Pertama; cocok atau pas dengan persoalan/hal yang sedang dibahas/diterangkan.

Kedua; jujur, artinya apa pun yang dikatakan pengarang/penulis yang kita kutip harus kita katakanseperti apa adanya.

Ketiga; terbuka, artinya kita katakan kepada pembaca siapa yang mengatakan kata-kata-kata bijak atau ungkapan penuh maka Itu.

Mengutip sumber, tanpa menyebutkan dengan jujur dan terbuka sumbernya, dapat membuat seorang penulis berhadapan dengan hukum, dengan dakwaan pelanggaran terhadap Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

Bila sumber itu disebutkan dengan jujur dan terbuka, seorang penulis bisa terlepas dari dakwaan itu, pabila memang kutipan itu memang sewajarnya atau seperlunya. Pasal 15 butir a Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002, menyatakan, “Dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta. Penggunaan ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta.”

Mengolah Sumber Seperti Koki Memasak Capcay

Karena itu, menarik sekali apa disampaikanoleh R. Masri Sareb Putra dalam bukunya How Write Your Own Textbook yang menyatakan, bahwa mengolah sumber menjadi tulisan itu mirip dengan koki memasak capcay. Capcay berarti: sepuluh sayur. Katakanlah, bahan capcay adalah jamur, daging ayam, tepung, kubis, wortel, sawi, udang telor, vetsin, dan garam. Semuanya ada sepuluh bahan dan bahan-bahan itu kita beli di pedagang sayur yang berbeda. Nah, ketika dihidangkan, si pedagang sayur tidak bisa mengatakan, “Itu jamur dan sawi saya!” Mengapa? Sebab hidangan itu bukan seperti bahan asli, namanya sudah bukan jamur dan sawi lagi. Ketika sudah dihidangkan, namanya cap cay, sehingga pedagang sayur tidak bisa mengklaim bahan itu miliknya.

Lebih lanjut R. Masri Sareb Putra menyatakan, sejauh materi telah diolah, sedemikian rupa, menjadi rupa dan citarasa penulis, suatu sumber tulisan sudah tidak lagi berdiri sendiri. Ia hadir dalam konteks sebuah tulisan. Bahan itu menjadi bagian utuh bangunan yang bersistem. Itulah tulisan yang baik dan cara mengolah sumber yang benar.

Semoga bermanfaat. Selamat berkarya!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun