Aku tumbuh di rumah yang tak mengenal cahaya. Bukan karena lampu-lampunya padam ataupun jendela yang tak pernah terbuka, melainkan bayangan ayah yang kerap menelanku mentah-mentah.
Di rumah ini ia adalah raja. Istana yang hanya dihuni oleh dirinya, mungkin bersama seekor iblis dan beberapa peri tak kasatmata. Sebab pada malam-malam tertentu, aku sering mendengar teriakan ayah. Kadang ia bernyanyi sembari menari dalam gerakan-gerakan aneh. Dan selalu saja, ekor matanya bisa menangkap meskipun aku bersembunyi.
"Kau mengintip rupanya. Kemari kau, anak setan!"
Suaranya buas. Matanya merah. Dalam sekejap ia melompat. Mendengus seakan ingin melumatku. Sekujur tubuhku gemetar. Bahkan tanpa sadar aku mengompol karena rasa takut tak tertahankan. Melihat kejadian itu ayah malah kegirangan. Ia tertawa seraya tak berhenti menghujaniku makian. "Mau jadi apa kau? Sudah besar masih juga ngompol. Dasar pengecut!"
"Maafkan aku, Ayah."
"Kau hanyalah tikus tak berguna. Pantas saja kau biarkan ibumu diperkosa tanpa berbuat sesuatu untuk membelanya." Ayah menggeram. Kakinya menghentak-hentak lantai. Beberapa pukulan bersarang di dinding membuat nyaliku semakin kerdil. "Lebih baik kau mati sebagai laki-laki demi membela ibumu daripada hidup tapi menyusahkan diri sendiri."
Aku semakin tenggelam dalam sumpah serapah ayah. Wajahnya bengis. Kedua kelopak matanya menghitam seakan lubang petaka tak berdasar. Aku tak berani menatapnya. Sekali saja melihat ke dalamnya, seketika aku terkulai lemas seolah nyawa terlepas.
***
Ibuku mungkin hanya seekor anjing betina. Namun ia tetaplah bunga mekar yang diimpikan serangga. Bahkan ketika ibu telah dipersunting ayah hingga melahirkan aku, serangga dan binatang-binatang lainnya masih saja mengendus wangi selangkangannya.
Aku tak pernah tahu apa yang dikerjakan ibu setiap kali ayah pergi. Pada fajar sebelum matahari menampakkan diri ayah sudah pergi. Aku tak pernah melihatnya terlalu lama di rumah. Siang hari pekerjaannya hanyalah mengasah parang dan belati. Lalu pergi selama beberapa hari. Lantas saat terbangun di pagi hari, aku mendapati diriku telah berada di dalam kamar tidur sendiri. Sedangkan di kamar di mana sebelumnya aku tertidur bersama ibu, ayah telah mendengkur.
Aku mengintip dari balik pintu. Dengkuran ayah serupa lenguh kerbau sekarat. Kedua tangannya selalu berlumuran sesuatu. Mungkin bekas darahnya sendiri atau darah sesosok bayangan yang telah dibantainya dalam mimpi. Aku segera menjauh saat napasnya tersedak dan tubuhnya bergerak.