Mohon tunggu...
Hersa Kumaradia Abrar
Hersa Kumaradia Abrar Mohon Tunggu... Karyawan Swasta

Alumni UIN Sunan Kalijaga Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora 2015.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Topo Bisu Mubeng Benteng bentuk ikhtiar dalam berdoa

14 Oktober 2015   10:48 Diperbarui: 14 Oktober 2015   10:48 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yogyakarta, 14 oktober 2015 pukul 00.00 tengah malam. Alun-alun utara Yogyakarta dipenuhi dengan kurang lebih seribu pengunjung . Ditengah malam pergantian taun baru Islam dan Jawa ini adalah malam yang sakral untuk warga Yogyakarta sendiri. Di Yogyakarta terdapat tradisi Ritual warisan yang bernama Topo Bisu Mubeng Benteng. Mengapa diberi nama Topo Bisu Mubeng Benteng ? Yuk kita bahas bersama.

Topo adalah berdoa, Bisu adalah diam tanpa kata, Mubeng berarti mengelilingi, dan Benteng disini berarti dinding pertahanan yang mengelilingi area Kraton. Jadi menurut istilah Topo Bisu Mubeng Benteng adalah Sebuah cara berdoa yang dalam permintaannya tidak menggunakan lisan melainkan hati yang berbicara dan dalam berdoa diharuskan berjalan kaki mengelilingi dinding pertahanan yang mengelilingi area Kraton sebagai tanda keprihatinan dan sungguh-sungguh dalam berdoa. Kepada siapa kita berdoa ? Masalah berdoa kepada siapa, tetap doa itu ditujukan kepada Tuhan agama masing-masing peserta Topo Bisu Mubeng Benteng. Topo Bisu Mubeng Benteng hanya sebagai media berdoa yang berbeda agar keprihatinan dan kesungguhan dalam berdoa itu terjadi. Ritual ini bertujuan sebagai perenungan, apa saja yang sudah kita lakukan, sembari memanjatkan syukur serta agar doa kedepan bisa lebih baik lagi. Tradisi ini sebenarnya bukan berasal dari Kraton sendiri, melainkan dari abdi-abdi dalem Kraton yang untuk memperlihatkan keprihatinan selama mengabdi di Kraton.

Banyak orang mengakatan bahwa Topo Bisu Mubeng Benteng adalah musryik dalam ajaran Islam. Musryik itu bila mana para peserta melakukan Ritual tersebut meminta doa kepada makhluk tak kasat mata dan benda-benda pusaka lainnya. Di Ritual ini dianjurkan berdoa kepada Tuhan agama masing-masing peserta, bukan kepada benda-benda pusaka dan makhluk tak kasat mata. Bila melakukan Ritual ini dengan bersungguh-sungguh maka InsyaAllah akan terkabul permintaannya. Topo Bisu Mubeng Benteng ini sama halnya melakukan tawuf ketika sedang beribadah Haji di Arab sana. Karena cara melakukannya hampir sama, tetapi yang membedakan bila tawuf mengelilingi sampai 7 putaran, sedangkan Topo Bisu Mubeng Benteng hanya di lakukan satu kali putaran saja.

Ritual tersebut dilakukan setahun sekali yaitu pada tengah malam pergantian tahun baru Islam dan Jawa. Dalam pelaksanaannya peserta tidak boleh berbicara selama melakukan tradisi Topo Bisu tersebut. Bila ada peserta yang berbicara sendiri maka akan menganggu konsentrasi berdoa peserta Topo Bisu Mubeng Benteng Lainnya. Disinilah diajarkan cara menghargai orang ketika sedang berdoa. Sebelum prosesi Topo Bisu Mubeng Benteng ini dimulai, dilakukan pembacaan macapat atau kidung bahasa Jawa. Kidung tersebut diantaranya kidung dandang gulo, kidung kinanti, kidung gambuh dan lainnya. Kidung yang dibacakan ini intinyaadalah pituduh atau penuntun untuk mengingatkan bagi yang hidup. Ritual ini dilakukan tanpa menggunakan alas kaki. Ritual diawali doa oleh abdi dalem Kraton Yogyakarta. Seusai doa, rombongan berjalan mengelilingi benteng Kraton dengan urutan cucuk lampah Sang Saka Merah Putih, bendera gula kelapa, klebet Bangun Tolak (Yogya), klebet Mega Ngampak (Sleman), klebet Pareanom (Kulonprogo), klebet Pandan Binetot (Bantul), klebet Padang Ngisep Sari (Gunungkidul), barisan abdi dalem lalu diikuti peserta Topo Bisu Mubeng Benteng.

Ritual Topo Bisu Mubeng Benteng ini dimulai dari Alun-alun utara Yogyakarta, kearah barat menuju parkiran Ngabean Ngampilan, jalan terus kearah selatan hingga perempatan pojok Beteng Kulon, jalan lagi menuju arah timur hingga perempatan Pojok Beteng Wetan, dan masih jalan terus kearah utara menuju perempatan Gondomanan, dan terakhir berjalan kearah barat menuju kembali ke Alun-alun utara Yogyakarta.

Peserta yang mengikuti Ritual ini tidak hanya berasal dari DIY namun juga banyak dari wilayah Jawa Tengah dan daerah lain. Bagi penganut kebatinan biasanya mengikuti ritual ini bertujuan untuk mengingat dan merenungkan apa saja yang sudah dilakukan, bila dihayati akan mendatangkan ketenangan batin. Dan bagi warga Yogyakarta sendiri meluangkan untuk mengikuti Ritual ini sama saja melestarikan kebudayaan.

.“SIAPA KALAU BUKAN GENERASI REMAJA YANG AKAN MELESTARIKAN KEBUDAYAAN AGAR TIDAK PUNAH TERTELAN OLEH JAMAN KEKINIAN YANG LUPA AKAN HALNYA TRADISI ADAT ISTIADAT DERAH ITU SENDIRI”.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun