Mohon tunggu...
Abul Muamar
Abul Muamar Mohon Tunggu... Editor - Editor dan penulis serabutan.

Editor dan penulis serabutan. Suka menyimak gerak-gerik hewan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Di Antara Kita, Sebenarnya Siapa yang Pelit?

15 November 2018   07:48 Diperbarui: 16 November 2018   13:12 2350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan, di ijazahnya yang dicetak saat kelulusan, saya dapati bahwa nama lengkapnya ternyata Ratna Soraya Lubis. Merah padam muka si kawan itu ketika saya memergoki nama lengkapnya.

Sampai di sini, saya ingin menyampaikan keprihatinan yang mendalam terhadap orang-orang Padang (Suku Minang khususnya) dan Mandailing atas label pelit yang terlanjur dilekatkan kepada mereka. Apalagi, dalam kenyataannya, tidak semua dari mereka itu pelit. 

Malah, banyak dari mereka yang royal. Sepanjang pergaulan saya, sudah tidak terhitung lagi berapa kali dan berapa rupiah saya ditraktir sama mereka yang bersuku Minang atau Mandailing. 

Tidak cuma soal traktir-mentraktir (yang bisa jadi lebih karena sedang punya uang berlebih), dalam urusan lain seperti patungan untuk membeli sesuatu, atau urunan ketika ada teman yang kemalangan atau sakit, banyak juga dari mereka yang tidak hitung-hitungan.

Bergeser ke luar Pulau Sumatera, ketika saya merantau ke Jawa, tepatnya ke Jogja untuk melanjutkan kuliah, saya mendapati banyak orang di Jawa--untuk tidak menyebut orang-orang Suku Jawa karena bisa jadi mereka transmigran--yang pelit. 

Saya katakan Jawa karena wilayah cakupan yang saya perhatikan bukan hanya D.I.Y, melainkan juga Jawa Tengah dan Jawa Timur.


Variabel-variabel pelit di Jawa yang saya lihat antara lain, di warung-warung makanan (entah itu warung soto, bakso, mi ayam, dsb), sangat jarang ada pedagang yang menyediakan air putih gratis di meja makan. 

Semuanya diberi harga. Begitu kita selesai menyebutkan pesanan, si pedagang akan langsung menimpali, "Minumnya apa, Mas?", lalu mulutnya akan langsung manyun bila kita menjawab, "Air putih aja, Pak/Bu".

Kedua, watak orang-orang Jawa (sekali lagi saya tak bermaksud menyebut suku Jawa), baik yang miskin maupun yang berada secara ekonomi, cenderung irit dalam hal makan. 

Orang-orang Jawa cenderung makan seadanya--biasanya nasi pakai tempe dan kerupuk--terutama bila di rumah. Sementara ketika makan bareng di luar, orang-orang Jawa terbiasa untuk bayar masing-masing dan enggan bila ditraktir--apalagi mentraktir.

Saya sendiri Jawa asli. Bapak, Ibu, kakek-nenek baik dari ayah maupun ibu, semuanya Jawa. Hanya saja memang saya lahir dan besar di Sumatera, dan secara kultur, saya banyak dipengaruhi oleh orang Melayu Deli yang dalam banyak hal, terutama makan, cenderung royal dan 'rusuh'. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun