Mohon tunggu...
Sabri Leurima
Sabri Leurima Mohon Tunggu... Freelancer - Ciputat, Indonesia

Sering Dugem di Kemang Jakarta Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bertanya Kapan Nikah Dianggap Pertanyaan Horor, Benarkah?

6 September 2019   22:08 Diperbarui: 6 September 2019   22:21 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: ( Ig mussboloproject ) ilustrasi

Bagi sebagian orang atau mungkin rakat-rakat pada umumnya yang sudah memasuki usia ideal ternyata masih menganggap pertanyaan "kapan menikah" sebagai sebuah pertanyaan yang sangat horor.

Jujur, saya mengalami hal serupa ketika saya tanpa sengaja menanyakan pertanyaan demikian kepada teman perempuan saya yang berprofesi sebagai seorang Bidan di Rumah Sakit Tentara, Waihaong, Ambon.

Bahkan setelah saya bertanya, responnya membuat saya seolah-olah merasa bersalah. Pertanyaan saya seperti terindikasi sangat horor baginya. 

Seperti biasa saya agak kaget mendengar jawaban secara saksama yang disampaikan.
Akhirnya saya memutuskan untuk mengajaknya berdiskusi.

Dalam diskusi yang kami bangun, saya dianggap lagi sedang mimpi. Tiba-tiba menanyakan hal demikian kepadanya. Mungkin sulit baginya untuk menerima pertanyaan semacam itu.

Pasalnya, jelas terlihat bahwa si perempuan yang saya maksudkan dalam naskah ini terlihat tengah memposting foto prewetnya bersama sang kekasih.

Saya bukan bermaksud untuk mencampuri urusan mereka. Tapi apakah salah, saya bertanya demikian dan mendapatkan jawaban setimpal, tidak to? Begitulah jelas saya kepadanya.

Lantas, bagaimanakah kemudian bertanya tentang menikah dan dinikahi bisa di persepsikan sebagai sesuatu yang horor. Bila pertanyaan seperti saya kemukakan diatas keluar dari setiap mulut bibir rakat-rakat yang lain.

Di sini kita bisa menggaris bawahi bahwa kebebasan bertanya secara gamblang harus dipolarisasi pada ruang-ruang tertentu. Ya, bisa jadi seperti itu.

Apa yang saya tanyakan pada teman perempuan saya mungkin terlalu serentak. Sehingga lahir anggapan, bahwa pertanyaan saya ialah pertanyaan jebakan atau bernada mengejek.

Tetapi pada prinsipnya, secara sadar dan dari hati nurani yang paling dalam, bila muncul pertanyaan-pertanyaan yang berbunyi begitu tidak semerta-merta harus direspon horor.

Bagi saya ini terlalu memakai azaz praduga tak bersalah tanpa ruang dialetik rasional. Karena inti dari setiap pertanyaan adalah ekspresi penjiwaan. Semua yang telah keluar merupakan bagian dari dinamika silaturahim dan analisa sosial.

Oleh karenanya, manusia semua pasti menginginkan pernikahan. Sepasang lawan jenis yang ditakdirkan berumah tangga merupakan wujud dari pertanyaan-pertanyaan. Bukan wujud dari pembungkaman.

Memang ada juga sih, dijamannya Siti Nurbayah seorang gadis yang menjadi simpatis banyak lekaki kolonial. Jaman yang berkarakter feodalis sehingga jodoh berada ditangan kedua orang tua bukan dari rasa cinta antara kedua insan.

Baik, begitulah polemiknya dalam ruang sosial kemasyarakatan. Ini tentu bisa diperdebatkan. Culture hitam dan putih akan terus menyala sembari menunggu curah hujan untuk memadamkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun