Filsafat perenialisme sebagai aliran filsafat pendidikan yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan berpikir melalui pelatihan intelektual. Maka peran guru dalam aliran filsafat ini menitikberatkan kepada fungsinya sebagai ahli bidang studi yang memiliki otoritas menguasai keilmuan pada bidangnya. Sehingga posisi siswa menjadi lebih pasif dalam proses pembelajaran.Â
Dari segi kurikulum, penggunaan pokok bahasan dan materi pelajaran justru terorganisir sebagai bentuk disiplin ilmu dengan pendekatan dan metode ceramah atau one way posistions.Â
Yang terjadi adalah sistem penjelasan dan teknis yang dilakukan dalam mengkoordinasikan pembelajaran oleh guru adalah sistem imposisi atau yang sekarang sering kita dengar dengan istilah Strategi Pembelajaran Ekspositori, sehingga peran guru menjadi lebih aktif dalam pembelajaran sedangkan murid cenderung menjadi pasif. Hal ini dapat kita ilustrasikan dengan ditandainya kemunculan kurikulum 1968 sebagai awal berakhirnya kurikulum 1964 yang banyak kemudian dicitrakan sebagai produk atau hasil dari penguasa orde lama dan digambarkan dalam bentuk REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun).Â
Oleh karenanya, kurikulum ini lebih menekankan pada penguasaan siswa terhadap materi yang telah ditentukan. Pada kurikulum ini, siswa dituntut untuk menghapal berbagai teori pelajaran tanpa dituntut untuk mengaplikasikannya. Dengan demikian, kurikulum ini hanya menekankan pada ranah kognitif siswa. Dilihat dari ciri-ciri kurikulum tersebut, maka landasan filofosis kurikulum ini adalah perenialisme.
Filsafat esensialisme yang termasuk ke dalam kelompok aliran filsafat yang menekankan pada pengembangan kemampuan esensial siswa, seperti membaca, menulis dan berhitung (kalistung).Â
Sesuai dengan Pasal 4 bab 3 tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan pada ayat (5) menyatakan; Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. Secara tidak langsung aliran ini relatif memiliki kemiripan dengan aliran filsafat perenialisme. Hanya saja aliran esensialisme ini sedikit lebih menekankan pada psikomotorik anak. Penguasaaan keterampilan menjadi fokus dalam praktek pandangan ini. Pengetahuan dan konsep-konsep dalam penguasaan materi pembelajaran di arahkan pada rekayasa keterampilan teknis terhadap materi pokok bahasan yang dituangkan dalam kurikulum.Â
Selain guru yang berperan sebagai penguasa ilmu di bidang studinya, dan  memiliki otoritas dalam pembelajaran, peran guru dalam rangka mengembangkan keterampilan anak menjadi tujuan keberhasilan penumbuhkembangan bakat anak melalui konsep pengetahuan dasar yang telah dimiliki sebelumnya.  Maka, kurikulum 1975 yang merupakan pengembangan dari kurikulum 1968 sebelumnya adalah dalam rangka meningkatkan efisiensi, efektivitas dan relevansi pendidikan. "Kurikulum 1975 ini cenderung menekankan pada tujuan agar pendidikan lebih efektif dan efisien berdasar MBO (management by objective). Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang dikenal dengan istilah "satuan pelajaran", yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. ". (Oemar Hamalik. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008). Maka, jika dilihat dari cirinya, kurikulum ini memiliki landasan filosofis esensialisme.
Berbeda dengan aliran filsafat progresivisme yang justru menekankan pada keaktifan siswa  dalam kegiatan pembelajaran. Mata pelajaran lebih dipandang sebagai instrumen kegiatan pembelajaran daripada sebagai sumber belajar, sedangkan guru berperan sebagai fasilitator. Pada masa kurikulum 1984 yang mengusung "process skill approach" menempatkan proses menjadi lebih penting dalam pelaksanaan pendidikan tanpa menyampingkan tujuan pendidikan itu sendiri. Peran siswa dalam kurikulum ini menjadi mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan.Â
Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL) dengan memposisikan guru sebagai fasilitator. Sebenarnya pada kurikulum ini siswa diposisikan sebagai subjek dalam proses belajar mengajar. Dan inilah cikal bakal yang kemudian coba untuk di angkat kembali kedalam struktur kurikulum 2013 saat ini. Dilihat dari cirinya, landasan filosofis yang digunakan dalam kurikulum ini adalah progresivisme. Ketentuan ini selaras dengan Undang-undang No.20 Â sebagai awal diberlakukannya UU Sisdiknas Tahun 2003 tentang ketentuan Dasar, fungsi dan Tujuan Pasal 3 ; "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab".
Rekonstruksionisme menghendaki pengembangan kurikulum yang didasarkan pada isu sosial kemasyarakatan yang memuat pluralisme budaya, kesamaan dan berwawasan ke depan. Dengan demikian, peran guru dan siswa dan pembelajaran bisa berubah-ubah sesuai dengan fungsi dan konteksnya sebagai pembelajar.Â
Dengan pandangan ini, maka peran siswa dan guru jauh lebih aktif dan mendorong terfungsikannya masing-masing peran kedalam makna pebelajar bersama dalam arti semua menjadi pembelajar bahkan siswa sekalipun dianggap sebagai sumber belajar bagi guru dalam perspektif ini. (hal ini termaktub dalam Pasal 1 Ketentuan Umum Pasal 1 point 16 yang menyatakan bahwa Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat).