Mohon tunggu...
AbieLabieba
AbieLabieba Mohon Tunggu... Belajar sebagai cara hidup

Sekolah Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menuju Merdeka Belajar: Kajian Filosofis Kohesif

14 Oktober 2021   21:59 Diperbarui: 14 Oktober 2021   22:35 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

MENUJU MERDEKA BELAJAR

(Kajian filosofis Kohesif antara Permendiknas No.20/2003 dengan Teori Filsafat Pendidikan dalam Kurikulum 2003 sebagai Cikal Bakal Merdeka Belajar)

_

Oleh : Habiburrahman

 

_Abstraksi Latar_

Dalam rangka menguatkan pemahaman tentang beberapa aliran dalam pendidikan dunia khususnya pandangan-pandangan filsafat tentang pendidikan yang dikaitkan dengan undang-undang Sisdiknas no.20 Th. 2003. 

Maka tulisan ini setidaknya memiliki tiga tahapan uraian pandangan dalam menjelaskan keterkaitan sekaligus menjadikannya sebagai kajian yang sistematis dan holistik. 

Ketiga tahapan model penjelasan dan uraian dalam bahasan ini diperlukan dalam rangka menunjukkan bagaimana pendidikan kita sebelum Kurikulum K13 dan menjadi acuan (titik berangkat) dari awal Sisdiknas 2003 ini lahir (masa reformasi), kemudian bagaimana sisdiknas kemudian berubah sistem dan mekanisme kerja maupun manajemennya (semula sentralisasi) hingga kita sampai kepada sistem yang sekarang yang dituangkan dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan 2006 bahkan kurikulum 2013 yang sudah terdesentralisasi hingga hari ini. 

Baru kemudian dalam bahasan akhir adalah memberikan gambaran bagaimana keterkaitan Undang-undang Sisdiknas 20/2003 tersebut dengan kohesivitasnya sebagai bagian dari teori filsafat yang ada dan menjadi cara pandang pendidikan Merdeka Belajar kita hari ini.

_Sekilas tentang kurikulum Pendidikan di awal Reformasi_

Peran aktif masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan di indonesia sejak awal reformasi tahun1999 sebagai tonggak baru dalam  desentralisasi pada sektor pembangunan sekaligus telah merubah wajah sistem pendidikan indonesia dengan memperkenalkan model "Manajeman Berbasis Sekolah" (http://www.sarjanaku.com, loc. Cit). 

Era reformasi tersebut telah memberikan ruang yang cukup lebar bagi perumusan kebijakan-kebijakan pendidikan baru yang bersifat reformatif dan revolusioner. 

Perubahan bentuk kurikulum akhirnya menjadi berbasis kompetensi. Begitu pula bentuk pelaksanaannya kemudian berubah dari sebelumnya sentralistik (dimasa orde lama) menjadi desentralistik. 

Era ini, pemerintah melalui amanat UUD 1945 dengan memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan belanja negara. (UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, yang diperkuat dengan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah). Sehingga pendidikan digiring pada pengembangan lokalitas, di mana keberagaman dominan menjadi perhatian.

Sekalipun belum di anggap sepenuhya berhasil dalam konteks pendidikan di masa reformasi ini sebagai akibat dari belum diberikannya kebebasan yang sepenuhnya bagi lembaga pendidikan untuk mendesain pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan  kepentingan yang ada di timgkat lokal, misalnya penentuan kelulusan siswa masih diatur dan ditentukan oleh pemerintah. 

Walaupun telah ada aturan yang mengatur posisi siswa sebagai subjek yang setara dengan guru, namun dalam pelaksanaannya di lapangan, guru masih menjadi pihak yang dominan dan mendominasi siswanya, sehingga tidak berlebihan jika harus mengatakan bahwa pelaksanaan proses pendidikan Indonesia masih jauh dari tujuan dalam rangka memperjuangkan hak-hak yang harus dimiliki siswa.

Dalam "Sejarah Pendidikan Indonesia" (Syahruddin dan Heri Susanto) dinyatakan bahwa Setidaknya terdapat beberapa kesalahan dalam pengelolaan pendidikan pada masa reformasi ini, dan akhirnya justeru telah melahirkan kepahitan terhadap hasil yang hendak diharapkan antara lain ;

  • Ketidakmampuan angkatan kerja untuk berkompetisi dalam lapangan kerja  pasar global
  • Lambannya birokrasi dengan tingkat korupsi yang tinggi
  • Mudahnya tindakan anarkis bagi sebagian besar masyarakat
  • Kerusakan alam yang demikian parah
  • Semakin taktertanggungkannya hutang terhadap luar negeri
  • Rendahnya moralitas para tokoh-tokoh pemimpin yang selama ini menjadi kaum elitis dan penuh pamor oleh kekuasaan.   

Oleh karena itu, dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut dan untuk mengimbangi kebutuhan akan sumber daya manusia yang berkualitas, maka dibuatlah sistem "Kurikulum Berbasis Kompetensi". 

Memasuki tahun 2003 pemerintah membuat UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menggantikan UU No 2 tahun 1989, dan sejak saat itulah pendidikan dipahami sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

_Perkembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) hingga Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 menjadi Kurikulum 2013 (K13)_

Lahirnya Kurikulum KBK 2004 meliputi Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), penilaian berbasis kelas, dan pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah. Artinya dalam hubungannya dengan KBM, proses belajar mengajar  tidak hanya berlangsung di lingkungan sekolah, tetapi juga di lingkungan keluarga dan masyarakat. 

Pada pelaksanaan kurikulum ini, posisi siswa kembali ditempatkan sebagai subjek dalam proses pendidikan dengan terbukanya ruang diskusi untuk memperoleh suatu pengetahuan. 

Siswa justru dituntut  untuk aktif dalam memperoleh informasi. Maka, kembalinya peran guru yang diposisikan sebagai fasilitator dalam perolehan suatu informasi, maka kegiatan pembelajaran akhirnya dilakukan dengan pendekatan dan metode yang bervariasi, sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi  unsur pengetahuan. 

Hal ini mutlak diperlukan mengingat KBK juga memiliki visi untuk memperhatikan aspek afektif dan psikomotorik siswa sebagai subjek pendidikan. Sehingga learn to know, learn to do, learn to be dan learn to live together menjadi karakteristik khusus dalam kurikulum KBK ini.

Selanjutnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mulai di kenal yang ternyata tidak jauh berbeda dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), namun perbedaan yang menonjol terletak pada kewenangan dalam penyusunannya, yaitu mengacu pada desentralisasi sistem pendidikan. 

Pemerintah pusat menetapkan standar kompetensi dan kompetensi dasar, sedangkan sekolah dalam hal ini guru dituntut untuk mampu mengembangkan dalam bentuk silabus dan penilaiannya sesuai dengan kondisi sekolah dan daerahnya. 

Jadi pada kurikulum ini sekolah sebagai satuan pendidikan berhak untuk menyusun dan membuat silabus pendidikan sesuai dengan kepentingan siswa dan kepentingan lingkungan. 

KTSP lebih mendorong pada lokalitas pendidikan. Karena KTSP berdasar pada pelaksanaan KBK, maka siswa juga diberikan kesempatan untuk memperoleh pengetahuan secara terbuka berdasarkan sistem ataupun silabus yang telah ditetapkan oleh masing-masing sekolah.

Dalam kurikulum ini, unsur pendidikan dikembalikan kepada tempatnya semula yaitu unsur teoritis dan praksis. Namun, dalam kurikulum ini unsur praksis lebih ditekankan dari pada unsur teoritis. 

Setiap kebijakan  yang dibuat oleh satuan terkecil pendidikan dalam menentukan metode pembelajaran dan jenis mata ajar disesuaikan dengan kebutuhan siswa dan lingkungan sekitar. 

Bahkan di dperguruan tinggi sekalipun telah dituangkan ke dalam pasal 2 ayat (1) mengenai Kompetensi hasil didik suatu program studi terdiri dari kompetensi utama, kompetensi pendukung, dan kompetensi lain yang bersifat khusus. 

Selanjutnya disebutkan pula bahwa kompetensi   tersebut dikembangkan ke dalam elemen-elemen kompetensi pada ayat (2). Elemen- elemen kompetensi terdiri dari landasan kepribadian, penguasaan ilmu dan keterampilan, kemampuan berkarya, sikap dan perilaku dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan ilmu dan keterampilan yang dikuasai, dan pemahaman kaidah berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya. 

Elemen-elemen ini dikembangkan atas dasar kategorisasi dari empat pilar pendidikan menurut UNESCO yaitu "learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be". (dikutip dari Panduan Pengembangan Kurikulum Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, loc. cit. Hlm. 8.)

Inti dan hakekat arus demokratisasi itu adalah pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan arus bawah. "Indonesia setelah era Reformasi ini merealisasikan kehendak sebagian besar masyarakat Indonesia untuk adanya Otonomi Daerah. 

Berkenaan dengan itu lahirlah Undang-Undang no. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah dan diiringi pula PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom." (Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2012, Hlm. 361-362.)

Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ini lebih banyak mengatur tentang kedudukan, fungsi, jalur, jenjang dan bentuk kelembagaan Sekolah / Madrasah. 

Sistem Pendidikan Nasional menghendaki peningkatan mutu pendidikan yang dilaksanakan secara berencana dan berskala, peningkatan mutu pendidikan tersebut didasarkan atas standar nasional yang dipergunakan sebagai acuan untuk pengembangan kurikulum, tenaga pendidikan, sarana, pengelolaan dan pembiayaan pendidikan (pasal 35 ayat 92) dalam hal ini termasuk mutu Madrasah. 

Momentum perubahan yang paling mencolok dalam tata kelola dikeluarkannya Undang-Undang Sisdiknas ini adalah pada masalah manajemen yang pada awalnya sentralistik diubah menjadi desentralisasi dan menempatkan otonomi pendidikan pada tingkat sekolah. pasal 36 ayat 2 dinyatakan kurikulum semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik dalam suatu tatanan Manajemen Berbasis Sekolah (pasal 41 ayat 1).

_Filsafat Pendidikan dalam Undang-undang Sisdiknas 2003 yang menjadi Kurikulum Indonesia (Sebuah cikal bakal Merdeka Belajar)_

Kurikulum jika dilihat dari perspektif yang lama (klasik/masa sebelum reformasi) merupakan "sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh murid untuk memperoleh ijazah". Dalam pandangan ini, kurikulum terdiri dari sejumlah mata pelajaran yang merupakan pengalaman masa lampau dan disusun secara sistematis dan logis. Dalam pandangan ini, sistem penyampaian oleh guru adalah sistem imposisi, sehingga guru lebih aktif dalam pembelajaran dan murid hanya bersifat pasif belaka. Sekalipun cara ini masih digunakan dengan model pembelajaran ekspositori meski polanya lebih terstruktur dan teknis konten dengan materi isi lebih ke arah tematik, namun prinsip yang digunakan dengan model ini relatif sama.

Berbeda dengan pandangan modern saat ini bahwa "kurikulum merupakan sebuah penafsiran dari pengorganisasian pelatihan, aktifitas dan pengalaman yang didapat dengan arahan kegiatan sekolah, baik di dalam  maupun di luar kelas". (Oemar Hamalik. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008): 62-64). 

Dalam pandangan ini, kurikulum dapat ditafsirkan secara luas, bukan hanya terdiri dari sejumlah mata pelajaran sebagaimana yang didefinisikan dalam pandangan lama. Setiap kegiatan yang menghasilkan pengalaman dapat dikatakan sebagai kurikulum tanpa memandang darimana asalnya.

Dari seluruh rangkaian penjelasan dan uraian di atas, maka kita dapat menarik beberapa point penting keterkaitan antara kurikulum yang di keluarkan dan di tuangkan ke dalam Undang-undang Sisdiknas No.20 tahun 2003 yang terdiri dari berbagai bentuk aliran filsafat pendidikan yang menjadi landasan pengembangannya, yaitu perenialisme yang didukung oleh idealisme, esensialisme yang didukung oleh idealisme dan realisme, progresivisme yang didukung oleh filsafat pragmatisme dan rekonstruksionisme yang didukung oleh filsafat pragmatisme sebagai lanjutan dari filsafat progresivisme.

Filsafat perenialisme sebagai aliran filsafat pendidikan yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan berpikir melalui pelatihan intelektual. Maka peran guru dalam aliran filsafat ini menitikberatkan kepada fungsinya sebagai ahli bidang studi yang memiliki otoritas menguasai keilmuan pada bidangnya. Sehingga posisi siswa menjadi lebih pasif dalam proses pembelajaran. 

Dari segi kurikulum, penggunaan pokok bahasan dan materi pelajaran justru terorganisir sebagai bentuk disiplin ilmu dengan pendekatan dan metode ceramah atau one way posistions. 

Yang terjadi adalah sistem penjelasan dan teknis yang dilakukan dalam mengkoordinasikan pembelajaran oleh guru adalah sistem imposisi atau yang sekarang sering kita dengar dengan istilah Strategi Pembelajaran Ekspositori, sehingga peran guru menjadi lebih aktif dalam pembelajaran sedangkan murid cenderung menjadi pasif. Hal ini dapat kita ilustrasikan dengan ditandainya kemunculan kurikulum 1968 sebagai awal berakhirnya kurikulum 1964 yang banyak kemudian dicitrakan sebagai produk atau hasil dari penguasa orde lama dan digambarkan dalam bentuk REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun). 

Oleh karenanya, kurikulum ini lebih menekankan pada penguasaan siswa terhadap materi yang telah ditentukan. Pada kurikulum ini, siswa dituntut untuk menghapal berbagai teori pelajaran tanpa dituntut untuk mengaplikasikannya. Dengan demikian, kurikulum ini hanya menekankan pada ranah kognitif siswa. Dilihat dari ciri-ciri kurikulum tersebut, maka landasan filofosis kurikulum ini adalah perenialisme.

Filsafat esensialisme yang termasuk ke dalam kelompok aliran filsafat yang menekankan pada pengembangan kemampuan esensial siswa, seperti membaca, menulis dan berhitung (kalistung). 

Sesuai dengan Pasal 4 bab 3 tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan pada ayat (5) menyatakan; Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. Secara tidak langsung aliran ini relatif memiliki kemiripan dengan aliran filsafat perenialisme. Hanya saja aliran esensialisme ini sedikit lebih menekankan pada psikomotorik anak. Penguasaaan keterampilan menjadi fokus dalam praktek pandangan ini. Pengetahuan dan konsep-konsep dalam penguasaan materi pembelajaran di arahkan pada rekayasa keterampilan teknis terhadap materi pokok bahasan yang dituangkan dalam kurikulum. 

Selain guru yang berperan sebagai penguasa ilmu di bidang studinya, dan  memiliki otoritas dalam pembelajaran, peran guru dalam rangka mengembangkan keterampilan anak menjadi tujuan keberhasilan penumbuhkembangan bakat anak melalui konsep pengetahuan dasar yang telah dimiliki sebelumnya.  Maka, kurikulum 1975 yang merupakan pengembangan dari kurikulum 1968 sebelumnya adalah dalam rangka meningkatkan efisiensi, efektivitas dan relevansi pendidikan. "Kurikulum 1975 ini cenderung menekankan pada tujuan agar pendidikan lebih efektif dan efisien berdasar MBO (management by objective). Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang dikenal dengan istilah "satuan pelajaran", yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. ". (Oemar Hamalik. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008). Maka, jika dilihat dari cirinya, kurikulum ini memiliki landasan filosofis esensialisme.

Berbeda dengan aliran filsafat progresivisme yang justru menekankan pada keaktifan siswa   dalam kegiatan pembelajaran. Mata pelajaran lebih dipandang sebagai instrumen kegiatan pembelajaran daripada sebagai sumber belajar, sedangkan guru berperan sebagai fasilitator. Pada masa kurikulum 1984 yang mengusung "process skill approach" menempatkan proses menjadi lebih penting dalam pelaksanaan pendidikan tanpa menyampingkan tujuan pendidikan itu sendiri. Peran siswa dalam kurikulum ini menjadi mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. 

Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL) dengan memposisikan guru sebagai fasilitator. Sebenarnya pada kurikulum ini siswa diposisikan sebagai subjek dalam proses belajar mengajar. Dan inilah cikal bakal yang kemudian coba untuk di angkat kembali kedalam struktur kurikulum 2013 saat ini. Dilihat dari cirinya, landasan filosofis yang digunakan dalam kurikulum ini adalah progresivisme. Ketentuan ini selaras dengan Undang-undang No.20  sebagai awal diberlakukannya UU Sisdiknas Tahun 2003 tentang ketentuan Dasar, fungsi dan Tujuan Pasal 3 ; "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab".

Rekonstruksionisme menghendaki pengembangan kurikulum yang didasarkan pada isu sosial kemasyarakatan yang memuat pluralisme budaya, kesamaan dan berwawasan ke depan. Dengan demikian, peran guru dan siswa dan pembelajaran bisa berubah-ubah sesuai dengan fungsi dan konteksnya sebagai pembelajar. 

Dengan pandangan ini, maka peran siswa dan guru jauh lebih aktif dan mendorong terfungsikannya masing-masing peran kedalam makna pebelajar bersama dalam arti semua menjadi pembelajar bahkan siswa sekalipun dianggap sebagai sumber belajar bagi guru dalam perspektif ini. (hal ini termaktub dalam Pasal 1 Ketentuan Umum Pasal 1 point 16 yang menyatakan bahwa Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat).

 

_PENUTUP SIMPUL_

Pada pertengahan periodisasi kurikulum Indonesia, yakni kurikulum 1994 merupakan hasil upaya untuk memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya, terutama kurikulum 1975 dan 1984. Hasil perpaduan kurikulum ini mengakibatkan padatnya materi yang  harus dikuasai oleh siswa. Selain itu, isu-isu tertentu harus pula dibahas dalam pembelajaran yang tercantum dalam kurikulum. Ciri-ciri yang menonjol dari pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya adalah pembagian tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem. Kurikulum ini bersifat populis, yaitu memberlakukan satu sistem kurikulum untuk semua siswa di seluruh Indonesia. Dengan demikian, kurikulum 1994 mempunyai landasan filosofis esensialisme dan progresivisme dengan landasan pertama lebih dominan.

Kurikulum pendidikan di Indonesia pasca Orde Baru mengalami perubahan landasan filosofis ke arah rekonstruksionisme. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang lahir pada 2004 merupakan salah satu terobosan dalam sistem pendidikan nasional. Pada pelaksanaan kurikulum ini, posisi siswa kembali ditempatkan sebagai subjek dalam proses pendidikan dengan terbukanya ruang diskusi untuk memperoleh suatu pengetahuan, sedangkan guru kembali diposisikan sebagai fasilitator dalam perolehan suatu informasi.

Pada 2006, pemerintah mengumumkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sebagai kurikulum pengganti KBK. Perbedaan yang menonjol terletak pada kewenangan dalam penyusunannya, yaitu mengacu pada desentralisasi sistem pendidikan. Pemerintah pusat menetapkan standar kompetensi dan kompetensi dasar, sedangkan sekolah dalam hal ini guru dituntut     untuk     mampu     mengembangkan     dalam     bentuk     silabus dan penilaiannya sesuai dengan kondisi sekolah dan daerahnya. Jadi pada kurikulum ini sekolah sebagai satuan pendidikan berhak untuk  menyusun dan membuat silabus pendidikan sesuai dengan kepentingan siswa dan kepentingan lingkungan. KTSP lebih mendorong pada pendidikan yang mengarah pada budaya lokal. Sehingga pandangan ini lebih mengarah kepada Aliran filsafat Pendidikan Progresivisme dan filsafat rekonstruktivisme.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun