Â
Hidup Sebagai Seorang Petani: Belajar Menyimak Kearifan Alam
Â
"Bertasbih kepada-Nya tujuh petala langit dan bumi dan sesiapa yang ada di antara mereka. Dan tidak ada sesutupun (di alam semesta) kecuali bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kalian tidak memahami tasbih mereka." (Al-Israa' :44)
Bekekerja, apapun jenisnya, bukan hanya sebagai ikhtiar untuk memenuhi kebutuhan hidup dan menunaikan tanggungjawab. Lebih dari itu, berbagai profesi tersebut, kalau kita pikir-pikir secara lebih seksama adalah merupan modus eksistensial untuk mengisi aspek esensial dari seorang manusia. Bekerja adalah sarana untuk menggali dan menemukan makna, menyelami aneka emosi, merasakan duka dan bahagia, dan memasuki rupa-rupa kesadaran yang silih berganti.
Dengan demikian, proses dan hasil kerja bukan hanya berdayaguna secara ekonomi, namun juga bisa memantik datangnya ragam pengalaman dan penghayatan ruhani. Dalam kesempatan ini, izinkanlah saya membagikan sedikit hasil permenungan kecil saya selama menjalani hidup sebagai seorang petani.
Filosofi Padi
Nasehat I'tibar yang sering kita dengar tentang alam adalah: "Belajarlah dari ilmu padi. Makin berisi makin menunduk." Petikan hikmah ini mengisyaratkan tentang seorang yang berilmu tinggi tapi rendah hati. Kata-kata ini nampak sangat klise. Tapi kalau kita simak lebih jauh, akan nampaklah sisi-sisi kebenarannya yang sesungguhnya.
Ilmu, keahlian, dan wawasan yang terus ditingkatkan ternyata tidak membawa kita pada ketinggian dan keutamaan. Namun justru mementokkan kesadaran kita akan adanya keterbatasan. Setinggi apapun ilmu yang kita punya, pasti ada saja orang yang bisa mengunggulinya. Sedang obyek ilmu itu sendiri sangat tidak terbatas ragam dan spesikasinya. Dan untuk menjangkau segala misteri tersebut, alangkah terbatas otak dan waktu yang kita punya. Di sinilah kita mentok pada keterbatasan.
Keahlianpun demikian pula adanya. Tidak ada ahli yang menguasai bidangnya secara penuh. Sebab manusia terus berinovasi dan mengembangkan diri. Satu soal dapat kita kuasai, dua tiga soal lain luput dari genggaman. Satu keterampilan dapat kita praktikkan, teknik-teknik lain segera menyusul menawarkan solusi penyelesaian. Satu penemuan dapat kita purwarupakan, di belakang berderet penemuan-penemuan lain yang lebih canggih dan mencengangkan. Maka julukan mentereng sebagai ahli dan pakar adalah julukan yang justru merujuk pada parsialiatas dan subjektifitas pribadi kita saja. Kita disebut seorang ahli sebatas orang belum menemukan seorang lain yang lebih ahli. Ini nyata berlaku pada semua orang. Bahkan pada dia yang mengaku ahlinya ahli sekalipun.
Bagaimana dengan wawasan? Kalau wawasan kita anggap sebagai keluasan dan kedalaman ilmu serta banyaknya pengalaman, maka pemahamn kita tentang kehidupan dan alam justru akan terasa makin tak berkesudahan. Makin dalam kita menyelam semakin susah kita mencari rumusan dari apa yang kita temukan. Makin beragam pengalaman yang kita catatkan, semakin semakin merasa kurang kita akan kekayaan kearifan.
Demikianlah, satu kearifan ini saja yang diisyaratkan serumpun padi, kita bisa kelimpungan menelusuri hikmah I'tibarnya. Maka memang tak ada pilihan lain bagi kita, setelah mentok ke tembok kesadaran ini, kecuali menundukkan ego dan hati di tengah misteri dan kebesaran alam.
Cermin Harmoni Dan Keseimbangan
Pengalaman di persawahan juga mengajarkan hukum harmoni dan keseimbangan. Manusia tidak bisa menggunakan pupuk dan pestisida seenaknya, tanpa lebih dulu memahami siklus dan simbiose ekosistemnya. Penggunaan tonikum dan racun yang tak sesuai takaran kapasitas ekosistem, akan mengakibatkan hukum keseimbangan jadi jomplang.
Karena pada dasarnya semua makhluk yang terlibat dalam proses reproduksi padi itu punya peran masing-masing yang tak bisa digantikan atau ditiadakan. Tikus, ular, belalang, ikan, burung, ulat, cacing, bakteri, kodok, rumput, jangkrik, lipan, kupu-kupu, tonggeret, siput, bahkan hama wereng dan ulat penggerek batang adalah sebuah kesatuan utuh yang perannya saling berjalin berkelindan.
Jejaring hubungan dan fungsi makhluk penghuni sawah tak kalah kompleksnya dengan jejaring sosial dan fungsi-fungsi budaya di kalangan manusia. Kita tak bisa memusnahkan tikus semuanya gegara ia merusak tanaman. Sebab itu akan memutus mata rantai makanan ular dan burung. Pembasmian rumput dengan menggunakan pestisida berlebih yang kemudian mengendap terpendam dalam tanah akan mematikan telur cacing dan ikan. Tanah tidak lagi gembur dan ikan-ikan tidak bisa mengembangkan turunannya. Â