Marah jadi ekspresi moral baru,
meski sering tanpa arah.
Padahal, marah yang tak disertai akal justru memadamkan akal sehat.
Kemarahan digital kini menjadi industri tersendiri:
semakin tinggi tensinya, semakin tinggi engagement rate-nya.
Maka yang naik ke permukaan bukanlah hikmah,
tapi kegaduhan yang paling laku di pasar algoritma.
Hak Geruduk: Solusi Instan di Era Cepat Tersinggung
Kini lahirlah istilah baru, hak geruduk.
Begitu tersinggung oleh berita atau tayangan,
sekelompok orang datang langsung ke lokasi --- lengkap dengan kamera ponsel, spanduk, dan live streaming.
Padahal negara sudah memberi jalur hukum bernama hak jawab,
tapi publik lebih percaya pada jalur emosional bernama "aksi spontan."
Hasilnya bukan penyelesaian,
melainkan pertunjukan.
Semua pihak tampil gagah di depan kamera,
sementara esensi masalah tak pernah dibedah.
"Hak Jawab perlu logika dan waktu.
Hak Geruduk cukup dengan kemarahan yang kompak."
Ulama, Umara, dan Kita di Tengah Kekacauan Digital
Para ulama dan umara kini juga terjebak di arena yang sama.
Sekali salah kutip, salah potong video, atau salah nada,
gelombang digital bisa berubah jadi badai opini.
Ulama yang seharusnya meneduhkan, justru terseret menjelaskan diri.
Umara yang mestinya memimpin, malah sibuk membantah di media sosial.
Keduanya sama-sama takut kehilangan simpati,
sehingga lebih cepat merespons daripada menimbang.
Sementara rakyat, belajar dari itu semua,
menganggap reaksi cepat adalah bukti kebenaran,
dan diam berarti bersalah.
Kita akhirnya hidup dalam ekosistem bising
di mana semua ingin bicara, tapi tak ada yang benar-benar mendengar.