Beberapa hari lalu, publik disuguhi pemandangan yang agak unik: kantor Kementerian Keuangan mendapat kiriman karangan bunga dari serikat pekerja dan petani tembakau. Isinya? Ucapan terima kasih karena cukai rokok tidak naik di tahun 2026.
Di atas kertas, ini masuk akal. Industri tembakau tetap tenang, petani lega panennya terserap, buruh pabrik tidak resah. Tetapi... ada satu pihak yang luput diberi bunga: para perokok itu sendiri.
Sang Pahlawan Tanpa Karangan Bunga
Coba pikir. Siapa yang setiap hari membakar uangnya, bukan sekadar demi kepuasan pribadi, tapi juga demi menyelamatkan industri, tenaga kerja, bahkan pemasukan negara?
Ya, perokok.
Merekalah "donatur setia" yang tak pernah menagih tanda terima. Merekalah yang konsisten membayar cukai, tanpa pernah mogok, tanpa demo, tanpa minta insentif. Mereka tetap setia pada kretek, tidak lari ke vape, tidak tergoda rokok elektrik impor yang lebih trendy.
Mereka rela paru-parunya jadi collateral damage, asal perekonomian desa-desa penghasil tembakau tetap berdenyut. Mereka tidak menulis proposal CSR, tidak menuntut bansos. Mereka hanya satu: beli rokok, nyalakan api, tarik napas, hembuskan masa depan.
Tapi apa ucapan yang mereka terima? "Merokok membunuhmu."
Bayangkan, pahlawan dicaci di setiap bungkus produk yang ia selamatkan. Ironi yang sempurna, bukan?
Karangan Bunga yang Salah Alamat
Andai negeri ini tahu sopan santun, mungkin sudah berdiri karangan bunga raksasa di jalan-jalan utama:
"Terima kasih wahai perokok. Tanpa kalian, tidak ada cukai. Tanpa cukai, APBN megap-megap. Semoga batuk kalian tidak mengganggu setoran negara."
Tapi apa yang kita lihat? Menteri dapat bunga, petani dapat syukur, buruh dapat lega. Perokok? Dapat stigma, dapat vonis moral, bahkan dapat tatapan jijik dari orang-orang yang pura-pura lupa bahwa jalan tol, subsidi, bahkan dana pendidikan---sebagian ada yang berasal dari uang rokok.
Jangan salah, ini bukan glorifikasi kebiasaan merokok. Satir ini sekadar mengingatkan bahwa sering kali kita salah alamat dalam mengucap terima kasih. Kita tepuk tangan untuk kebijakan, untuk pejabat, untuk asosiasi. Padahal yang paling layak diberi penghargaan justru mereka yang diam-diam jadi penopang sistem.
Tabel Penerimaan Cukai Hasil Tembakau (Rokok) Indonesia
Catatan Penting
Cukai rokok = 95% dari total penerimaan cukai negara (jauh lebih besar dibanding cukai minuman beralkohol atau plastik).
Kontribusi ke APBN: rata-rata 8--10% dari total penerimaan negara tiap tahunnya.
Tantangan 2025: target Rp 230,09 T bisa sulit tercapai karena:
Penurunan daya beli masyarakat,
Peredaran rokok ilegal,
Pergeseran konsumsi ke vape / rokok elektrik yang cukainya lebih rendah.
Kritik yang Terselip Asap
Di balik semua satire ini, ada kritik yang jauh lebih serius:
Negara terlalu nyaman dengan setoran cukai rokok, sehingga enggan serius mencari alternatif pendapatan.
Petani dan buruh dijadikan alasan, padahal yang paling rentan justru konsumen di bawah yang tak punya pilihan selain tetap membeli.
Dan yang paling ironis: kesehatan publik dijadikan jargon, tapi rokok tetap jadi sumber pemasukan negara.
Seolah-olah negara berkata: "Merokok itu bahaya, tapi teruslah beli... karena kami butuh uangmu."
Ucapan Terima Kasih yang Seharusnya
Jadi, kalau benar-benar ingin jujur, karangan bunga itu seharusnya berbunyi begini:
"Untuk para perokok: terima kasih sudah setia merokok, tidak pindah ke vape, dan masih sabar membayar pajak lewat paru-paru kalian. Tanpa kalian, ekonomi tembakau bisa rubuh, APBN bisa sesak, dan kami tidak bisa kirim karangan bunga ke siapa pun."
Kadang, satire adalah satu-satunya cara untuk menyuarakan kenyataan pahit: bahwa di negeri ini, yang rela berkorban paling besar justru paling sering dilupakan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI