Di balik semua satire ini, ada kritik yang jauh lebih serius:
Negara terlalu nyaman dengan setoran cukai rokok, sehingga enggan serius mencari alternatif pendapatan.
Petani dan buruh dijadikan alasan, padahal yang paling rentan justru konsumen di bawah yang tak punya pilihan selain tetap membeli.
Dan yang paling ironis: kesehatan publik dijadikan jargon, tapi rokok tetap jadi sumber pemasukan negara.
Seolah-olah negara berkata: "Merokok itu bahaya, tapi teruslah beli... karena kami butuh uangmu."
Ucapan Terima Kasih yang Seharusnya
Jadi, kalau benar-benar ingin jujur, karangan bunga itu seharusnya berbunyi begini:
"Untuk para perokok: terima kasih sudah setia merokok, tidak pindah ke vape, dan masih sabar membayar pajak lewat paru-paru kalian. Tanpa kalian, ekonomi tembakau bisa rubuh, APBN bisa sesak, dan kami tidak bisa kirim karangan bunga ke siapa pun."
Kadang, satire adalah satu-satunya cara untuk menyuarakan kenyataan pahit: bahwa di negeri ini, yang rela berkorban paling besar justru paling sering dilupakan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI