Dua tahun bekerja di Jakarta pernah jadi babak hidup yang cukup dramatis untuk saya.Awalnya, saya ada di fase yang banyak orang kenal: rajin melamar kerja, tapi balasannya rata-rata dua huruf --- "maaf" --- atau kalau agak sopan, "terima kasih atas lamaran Anda, tetapi...".
Akhirnya, saya diterima di kantor notaris.
Buat orang awam, itu terdengar keren: meja rapi, lemari arsip penuh dokumen legal, dan klien yang datang pakai jas.
Tapi kenyataannya, di kantor itu jalur karier seperti tangga yang hilang beberapa anak tangganya.
Kalau mau naik pangkat, harus ambil S2 Notaris.
Biayanya? Jangankan S2, untuk sekadar makan siang di warteg dan ongkos pulang saja sudah harus saya hitung dengan kalkulator mental.
Rutinitas Jam 4 Sore
Setiap hari, jam 4 sore saya sudah bersiap pulang.
Naik angkutan umum, ikut arus manusia yang seperti parade tanpa musik.
Jakarta jam segitu adalah museum kesabaran berjalan: semua orang ingin cepat sampai rumah, tapi kaki dan roda semua macet di satu titik.
Sampai suatu sore, saya memutuskan mampir ke tempat teman.
Sebuah keputusan yang awalnya iseng, tapi justru jadi pintu masuk ke cerita baru.
Di situ saya dikenalkan ke bosnya teman saya.
Obrolan ringan berubah jadi wawancara kilat, dan ujung-ujungnya beliau berkata:
"Kalau mau, bantu saya urus usaha kecil ini. Lumayan kan, tambahan."
Shift Malam Dimulai
Karena masih bujang, saya tidak punya alasan untuk menolak.
Pulang jam berapapun tidak masalah.
Awalnya saya hanya diberi tugas membereskan pekerjaan rutin dan mengawasi.
Tapi lama-lama, saya ikut menemani beliau melobi calon klien.
Saya jadi belajar hal-hal yang tak ada di buku teks: cara membaca bahasa tubuh, cara meyakinkan orang, bahkan cara membuat suasana makan malam bisnis tidak kaku.
Gaji? Jangan bayangkan seperti direktur BUMN.
Tapi setidaknya sekarang saya punya dua sumber penghasilan.
Dan yang menarik, di pekerjaan kedua ini saya tak lagi pusing soal ongkos pulang.
Ketika Ongkos Berubah Jadi Bonus
Bos saya punya kebiasaan: kalau pulang malam, beliau memberi uang taksi.
Masalahnya, rumah saya cukup jauh dari kantor, sayang uang taksi mendingan di tabung.
Taksi hanya mengantar sampai radius 5 KM dari kantor, sisanya saya lanjut naik angkot.
Uang taksi? Saya kantongi.
Hitung-hitungan ekonominya sederhana: pulang malam = bonus ongkos.
Dari situ saya belajar dua cara mengurangi beban ongkos hidup: