Mohon tunggu...
Abdul Wahid Azar
Abdul Wahid Azar Mohon Tunggu... Penulis Buku Non Fiksi (BNSP)

Menulis subtansi kehidupan, Jujur pada realitas

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Negara Yang Tak Pandai Membaca, Dari Pornografi,Judol dan Rekening Dormant

4 Agustus 2025   07:29 Diperbarui: 4 Agustus 2025   07:29 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi programing ( Foto : Pexels.com)

Di Era Data, Negara Harus Pandai Membaca

Kita hidup di era di mana data tidak lagi sekadar catatan, tapi fondasi kekuasaan. Negara-negara yang berhasil menjaga kedaulatan digitalnya bukan hanya punya aturan, tapi juga punya kemampuan membaca pola, tren, dan sinyal dari balik angka. Sayangnya, Indonesia masih sering tertinggal dalam hal ini. Bukan karena tidak punya regulasi, tapi karena tidak mampu menerjemahkan data menjadi tindakan preventif. Negara kita masih terlalu sering tertinggal satu langkah dari kejahatan yang sudah bertransformasi digital.

Kasus 1: Blokir "Payudara", Loloskan Eksploitasi

Kominfo dan lembaga penyensoran digital kita masih bekerja seperti filter air yang hanya menyaring partikel besar. Konten berbahasa ilmiah yang memuat kata "payudara", "alat kelamin", atau "seks" dalam konteks edukasi kerap diblokir. Di sisi lain, eksploitasi seksual anak, sexual grooming, dan konten sensual terselubung lolos karena menggunakan bahasa kode atau emoji.

Ini bukan hanya salah sistem, tapi salah pola pikir: negara lebih takut pada kata-kata ketimbang pada motif. Dan ini berbahaya, karena membentuk masyarakat yang kabur antara etika dan eufemisme. Ketika sensor dilakukan secara buta, maka negara kehilangan kendali atas makna. Padahal yang perlu disensor adalah intensi, bukan semata diksi.

Kasus 2: Judi Online dan Kecerdikan Bot

Judi online tidak lagi memakai bandar konvensional. Operator judi kini memanfaatkan media sosial, chat pribadi, hingga influencer untuk promosi terselubung. Pembayaran dilakukan via e-wallet, saldo digital, bahkan voucher game. Banyak pelaku menyamarkan nama transaksi sebagai "top up saldo", "beli ikan hias", atau "pembayaran token".

Bank dan otoritas masih tertinggal: blokir dilakukan berdasarkan nama situs, bukan berdasarkan pola transaksi. Padahal algoritma AI bisa mengenali kecenderungan pengguna, intensitas bermain, jam aktivitas, dan jejak digital dengan akurat. Negara kita baru merespons setelah kasus viral. Di sisi lain, jaringan judi sudah selangkah lebih maju, beroperasi lintas negara, multi akun, dan multi platform. Jika negara tidak mau adu canggih dengan para bot, kita akan selamanya jadi penonton di tanah sendiri.

Kasus 3: Rekening Dormant Tapi Transaksi Jalan

PPATK mengungkap adanya transaksi mencurigakan di rekening dormant. Tapi bukankah dormant artinya tidur? Dalam SOP bank, rekening yang tidak digunakan lebih dari 6--12 bulan seharusnya diblokir sementara. Tidak bisa setor, tidak bisa tarik, tidak bisa transfer. Harusnya aman.

Tapi jika rekening dormant bisa "bergerak", maka kita harus curiga: apakah ada celah sistem, atau ada yang sengaja membiarkannya terbuka? Lebih parah lagi jika rekening dormant digunakan untuk layering dana---sebuah teknik klasik dalam pencucian uang. Jika benar demikian, ini bukan hanya soal kelemahan sistem, tapi juga soal kejujuran institusi. Maka publik pun patut bertanya: siapa yang tidur, rekeningnya atau sistemnya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun