Kisah dari Meja Dapur
Saya sendiri pernah berada dalam titik paling mengerikan dalam hidup. Saat menjadi kepala keluarga bukan lagi soal memimpin, tapi soal bertahan. Ketika susu anak habis, dan di warung swalayan saya harus pura-pura memilih merek, padahal sebenarnya hanya menghitung sisa saldo di rekening.
Dalam situasi seperti itu, tidak ada ruang untuk ego, tidak ada waktu untuk berpikir panjang. Kalau ada BPKB motor, maka otomatis masuk leaseback. Kalau tak punya, dan masih ada kartu kredit dengan limit yang tersisa, maka digeseklah demi uang tunai. Jangan tanyakan bunga atau cicilan, karena satu-satunya pertanyaan yang relevan saat itu adalah: beli susu atau biarkan anak kelaparan?
SPP sekolah anak? Ya, mungkin bisa ditunda, asal kepala sekolah mau ditemui. Tapi seringkali, justru rasa malu lebih menyakitkan dari jumlah tagihan. Apalagi saat harus menghadap, namun disuruh menunggu di ruang tunggu berjam-jam, karena alasan "Bapak Kepala Sekolah sedang sibuk." Sibuk menilai orang dari baju kusut dan wajah kelelahan, mungkin.
Di sanalah kenekadan tumbuh. Bukan dari niat untuk hidup foya-foya, tapi dari keputusasaan yang tidak diberi tempat dalam sistem.
Utang Tak Lagi Soal Kebutuhan, Tapi Normalitas Baru
Dulu, utang adalah opsi terakhir. Kini, ia berubah jadi gaya hidup. Bahkan kadang-kadang, menjadi simbol kelas sosial. Barang-barang rumah tangga seperti panci, setrika, blender, bahkan taplak meja bisa dibeli dengan cicilan. Di desa sekalipun, arisan barang menjamur, bukan hanya sebagai ajang sosial, tapi juga cara mencicil gengsi.
Di kota besar, pemandangan kasir swalayan dengan opsi cicilan 0% lewat paylater bukan lagi hal aneh. Bahkan saat membeli sabun cuci atau makanan cepat saji. Semua bisa dicicil, semua bisa diangsur. Kita seperti hidup dalam dunia utopis berbasis "bayar nanti". Padahal, yang terjadi bukan kemudahan, tapi penggiringan ke dalam jebakan waktu.
Yang lebih menyesakkan, dalam keluarga, utang sering jadi rahasia. Istri mencicil produk kecantikan lewat e-commerce tanpa sepengetahuan suami. Suami diam-diam pinjam ke pinjol ilegal untuk menutup kekurangan biaya servis kendaraan. Semua berlangsung dalam senyap, hingga akhirnya satu per satu menagih dalam bentuk telepon kasar, surat peringatan, bahkan kunjungan tak diundang ke rumah.
Utang dan Wajah Ganda Gengsi
Gengsi punya wajah ganda. Ia bisa membuat seseorang terlihat rapi di depan umum, tetapi hancur secara finansial di dalam rumahnya sendiri. Banyak keluarga kini rela menyimpan luka demi menjaga citra. Rumah tampak mentereng, padahal sertifikatnya sudah lama jadi jaminan bank. Mobil terparkir di garasi, tapi pajaknya menunggak dua tahun.