Mohon tunggu...
Abdul Wahid Azar
Abdul Wahid Azar Mohon Tunggu... Penulis Buku Non Fiksi (BNSP)

Menulis subtansi kehidupan, Jujur pada realitas

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Kami Alumni HMI KUPANG, Tumbuh Dari Dasar Karang, Bukan Dari Loby.

15 Juli 2025   15:01 Diperbarui: 15 Juli 2025   15:01 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskaandar  ( Foto : Di apalud dari Bicara Politik.Id).

Ketika Candaan Menjadi Pengaburan Sejarah

Kalimat Menko PMK Muhaimin Iskandar yang menyatakan "kalau ada yang tidak tumbuh dari bawah, pasti bukan PMII. Itu HMI," mungkin dimaksudkan sebagai kelakar. Tapi bagi kami alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), terutama yang dibentuk di era penuh tekanan seperti 1990-an, ini bukan sekadar guyon. Ia mengandung simplifikasi sejarah yang menyakitkan, sekaligus mencerminkan kegagalan membaca jejak panjang gerakan mahasiswa Islam di Indonesia secara utuh.

Kami, anak-anak HMI tahun 90-an, adalah generasi yang dibesarkan di bawah bayang-bayang NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) dan BKK (Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Dua regulasi yang dilahirkan oleh rezim Orde Baru untuk mensterilkan kampus dari semangat kritis dan gerakan mahasiswa. Kami tidak diberi ruang. Kami dikebiri secara struktural. Tapi kami tidak pernah menyerah.

Dan ketika hari ini, puluhan tahun kemudian, perjuangan itu direduksi menjadi lelucon perbandingan siapa lebih "bawah" dari siapa, kami hanya bisa menghela napas. Rupanya ada yang lupa, bahwa keberanian sejati tak pernah butuh panggung. Ia hanya butuh komitmen.

Di Tengah Belenggu, Kami Tetap Merdeka dalam Pikiran

Tahun 90-an adalah masa ketika keberanian intelektual diuji dengan sunyi. Pemerintah mengatur ruang gerak mahasiswa dengan sistematis. Kampus-kampus dijinakkan, organisasi intra kampus dikuasai, dan kegiatan kemahasiswaan diawasi ketat. Kami tahu itu. Kami mengalaminya. Tapi justru dalam tekanan itulah kami, kader-kader HMI, belajar arti sejati dari kemerdekaan berpikir.

Kami menyelenggarakan Latihan Kader (LK) bukan di aula mewah, tapi di ruang-ruang sekolah pinggiran kampus, masjid kecil, Di sana kami berdiskusi keras, mendalami naskah, mengkritik realitas. Tapi bukan hanya itu, kami juga tahu kami sedang diawasi.

Intel yang tak nampak itu mengendus seperti dalam film. Mereka menyamar sebagai warga, bahkan ikut menjadi peserta. Duduk di pojok ruangan, mencatat detik demi detik diskusi kami. Mereka tidak selalu berbicara, tapi kehadiran mereka terasa.

Mesin Tik, Bebak, dan Baju Wisuda Bergilir: Inilah Sekolah Kehidupan Kami

Hidup kami sederhana, tapi penuh makna. Kami menulis makalah dengan tangan, mengetik skripsi dengan mesin tik pinjaman. Jika tinta habis, kami akali dengan mengoles minyak rambut agar pita bisa dipakai ulang. Satu mesin tik dipakai bertiga. Tak jarang, kami mengetik di tengah malam, di bawah bohlam 10 watt.

Jas wisuda kami pun bergilir. Satu jas bisa dipakai oleh lima orang. Kos kami bukan berdinding bata, tapi dari bebak --- bilah-bilah daun lontar yang disusun dan diikat sebagai dinding. Jika hujan turun, air masuk dari sela. Jika angin datang, dingin menembus ke tulang. Tapi dari situlah nilai itu tumbuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun