Mohon tunggu...
Abdul Wahid Azar
Abdul Wahid Azar Mohon Tunggu... Penulis Buku Non Fiksi (BNSP)

Menulis subtansi kehidupan, Jujur pada realitas

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Kenapa DPR Tak Berani Sentuh Surat Pemakzulan Gibran ?

12 Juli 2025   09:42 Diperbarui: 12 Juli 2025   09:46 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Karyaku dari Berbagai opini  (Foto. Caver Buku, Samudera Biru)

Kini, ketika mereka berbicara atas nama konstitusi dan moral negara, banyak yang melihatnya dengan sikap ambigu. Bukan karena argumen mereka lemah, melainkan karena memori sejarah terlalu kuat untuk dilupakan.

DPR pun membaca konteks itu. Sebagian mungkin memendam trauma, sebagian lain menjaga jarak. Maka respons yang dipilih adalah respons yang paling aman secara politik: diam. Bukan karena tidak tahu, tapi karena terlalu tahu.

Demokrasi Algoritmik dan Ketidakviralan Etika

Di era digital, isu konstitusi tak selalu berbanding lurus dengan perhatian publik. Dalam demokrasi algoritmik, isu hanya dianggap penting jika ia viral, mengundang klik, atau menggerakkan massa. Isu pemakzulan Gibran sejauh ini tidak memenuhi ketiganya.

DPR, sebagai lembaga politik, juga bekerja dalam ekosistem data. Mereka tak hanya membaca pasal, tapi juga membaca dashboard---grafik opini publik, sentimen media sosial, dan arah angin elektoral.

Dan sejauh ini, isu pemakzulan Gibran tidak dianggap sebagai ancaman elektoral atau tekanan publik. Maka, buat apa dibahas? Dari sudut pandang strategi kekuasaan, diam adalah keputusan yang paling rasional.

Surat Itu Tak Akan Dibuka, Tapi Akan Dikenang

Surat dari para purnawirawan mungkin tak akan pernah dibahas secara resmi oleh DPR. Ia akan tetap terlipat di meja birokrasi, disimpan dalam lemari konstitusi yang hanya dibuka jika keadaan politik berubah.

Namun sejarah mencatat bukan hanya apa yang dibahas, tetapi juga apa yang sengaja didiamkan. Surat itu bisa jadi tidak punya daya hukum, tapi ia punya daya simpan dalam sejarah. Ia menjadi penanda bahwa di tengah gegap gempita demokrasi elektoral, ada suara yang memilih etika, tapi tak punya cukup kekuatan untuk didengar.

Dan kelak, ketika narasi besar bangsa ini ditulis ulang, mungkin surat itu akan menjadi bukti bahwa demokrasi kita pernah kehilangan keberanian untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan moral.

Catatan  Penulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun