Catatan: Penulis bukan buzzer, hanya mencoba berpikir lebih rasional agar negara fokus pada pambangunan, bukan sibuk pada isu yang menghambat kemajuan.Â
Di tengah riuh rendah politik, isu tentang keaslian ijazah Presiden (2 periode 2014 -2024)Â Jokowi kembali mencuat ke permukaan. Seperti ombak di pesisir Anyer, polemik ini datang bergulung-gulung, memecah opini publik menjadi dua: ada yang menganggapnya serius dan ada yang menilai ini hanya drama pengalihan isu.
Tapi, pertanyaannya: Mengapa kita begitu terobsesi pada selembar kertas bernama ijazah? Apakah benar nilai seorang pemimpin semata-mata ditentukan oleh dokumen formalitas akademik?
Ijazah Bukan Bukti Berpikir
Rocky Gerung, seorang filsuf dan pengamat politik, pernah menyatakan bahwa "Ijazah hanyalah tanda seseorang pernah bersekolah, bukan tanda ia pernah berpikir." Nah, kalau kita pakai logika ini, seharusnya yang kita nilai dari seorang pemimpin bukanlah ijazahnya, melainkan isi kepala dan jejak karyanya.
Selama sepuluh tahun menjabat sebagai presiden, Jokowi dikenal dengan gebrakan infrastruktur: jalan tol, bandara, pelabuhan, dan jembatan penghubung. Di banyak daerah, kini warga bisa lebih cepat mudik, lebih mudah mengirim hasil bumi, dan lebih terhubung dengan dunia luar.
Namun, tiba-tiba, yang diperdebatkan adalah selembar ijazah S1-nya. Apakah asli atau palsu? Jika kita berpikir jernih, seharusnya yang kita bahas bukan sekadar soal kertas, melainkan: Apa hasil dari kepemimpinannya?
Daendels, Ijazah atau Kerja Paksa?
Mari kita menengok sedikit ke belakang, ke masa kolonial. Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, adalah sosok ambisius. Ia membangun Jalan Raya Pos dari Anyer hingga Panarukan. Proyek raksasa itu menghubungkan ujung barat hingga ujung timur Pulau Jawa, tapi sayangnya dibangun dengan kerja paksa.
Apakah kita pernah bertanya, apakah Daendels punya ijazah sebagai insinyur jalan? Tidak. Yang kita ingat adalah jalan itu jadi "warisan abadi" dari kolonialisme yang penuh penderitaan.
Jadi, apa yang lebih penting: gelar akademiknya atau jejak kerja paksa yang ditinggalkannya? Sejarah tidak akan sibuk menggugat ijazah Daendels, tetapi mengingat derita ribuan rakyat pribumi akibat kebijakannya.
Alvin Toffler dan John Naisbitt, Karya atau Ijazah?
Sekarang kita tengok ke dunia pemikiran futuristik. Alvin Toffler dan John Naisbitt adalah dua tokoh besar yang mengguncang dunia dengan ide-ide mereka. Toffler dengan buku "Future Shock" dan "The Third Wave", serta Naisbitt dengan "Megatrends" -- semuanya menawarkan pandangan yang melampaui zaman.
Yang menarik, karya-karya mereka bukanlah hasil dari pakem akademik yang kaku. Mereka tidak terlalu peduli dengan gelar doktor atau metodologi riset ala kampus. Justru karena berpikir bebas dari belenggu akademik, mereka mampu melahirkan gagasan spektakuler yang masih relevan hingga sekarang.
Apakah kita pernah menggugat ijazah Toffler atau Naisbitt ketika membaca karya mereka? Tidak. Kita justru menikmati gagasan brilian yang membawa kita merenungkan masa depan dengan sudut pandang yang lebih segar.
Jika kita terjebak pada kaku dan baku dunia akademik, mungkin karya-karya tersebut tidak akan pernah lahir. Jadi, wajar kalau Rocky Gerung bilang, "Ijazah bukan tanda orang pernah berpikir."
Realita vs. Formalitas
Kalau kita bandingkan dengan Jokowi, mungkin ada yang bertanya: apakah ijazahnya asli atau palsu? Tapi, mengapa tidak fokus pada apa yang telah dilakukannya? Rakyat lebih merasakan jembatan penghubung dan jalan mulus daripada sekadar kertas pengakuan akademik.
Seperti halnya Toffler dan Naisbitt, Jokowi juga punya gagasan besar dalam membangun infrastruktur. Bedanya, gagasan itu tidak dituangkan dalam buku, tetapi diwujudkan dalam proyek nyata di lapangan. Jadi, yang lebih penting bagi kita adalah apa yang bisa dinikmati masyarakat dari karya pemimpin, bukan sekadar lembaran yang menandai gelar.
Refleksi, Kertas atau Karya?
Pada akhirnya, kita sebagai masyarakat tentu lebih menghargai hasil nyata daripada terjebak pada legalitas administratif yang mungkin tidak relevan. Kalau kita sibuk mengulik selembar ijazah masa lalunya, kita justru mengabaikan apa yang sudah dikerjakannya selama 10 tahun.
Seperti halnya Daendels yang diingat karena jalan Anyer-Panarukan, bukan gelarnya, Jokowi juga akan dikenang bukan karena nomor ijazahnya, tapi karena jalan-jalan yang membentang menghubungkan rakyat.
Pemimpin itu dinilai dari warisan karyanya, bukan hanya dari gelar akademiknya. Kalau kita terus sibuk meributkan kertas, jangan-jangan kita terjebak pada kulit, bukan isi.
Karya lebih penting dari kertas, bukan?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI