"Awalnya cinta... kemudian iklan. Lalu semua berakhir di KPK."--Penggalan kisah yang tak tercetak di baliho"
Cinta bisa datang dari mana saja. Bisa lewat senyum seorang model majalah dewasa. Bisa pula lewat saldo ratusan miliar yang mengalir dari bank daerah. Tapi jika cinta dan kekuasaan bertemu dalam ruang yang sama---saling tatap tanpa malu---yang lahir bukan romantika, tapi drama. Bukan cinta dalam diam, tapi cinta yang diam-diam dibayar rakyat.
Seperti yang terjadi pada kisah Lisa Mariana dan Ridwan Kamil, yang belakangan jadi sorotan publik. Kisah yang meledak di media, lengkap dengan detail yang tak disangka, hubungan gelap, janji-janji manis.
Tapi menariknya, skandal ini muncul bersamaan dengan sorotan KPK atas kasus dugaan korupsi iklan Bank BJB senilai Rp222 miliar. Nama RK ikut terseret. Rumahnya digeledah. Sepedanya disita. Lalu muncul pertanyaan yang lebih tajam dari peluru gosip ?
Apakah ini cinta yang tersesat, atau strategi distraksi agar rakyat lupa siapa yang mengutak-atik anggaran?
Si Cantik Bernama Bank Daerah
Bayangkan Bank Daerah seperti model majalah dewasa.
Bergincu tipis. Bertabur angka. Tampil anggun di layar presentasi pembangunan daerah.
Tapi di balik tampilannya yang menggoda, ia jadi incaran kekuasaan. Tak hanya dilirik, tapi juga dikendalikan.
Bank daerah---baik Bank Jatim, Bank DKI, maupun Bank BJB---telah menjelma menjadi ladang basah yang bisa dicangkul siapa saja yang punya kuasa sebagai "pemegang saham pengendali."
Gubernur bukan komisaris, memang. Tapi mereka punya suara mutlak dalam RUPS, dalam pemilihan direksi, dalam arah anggaran, dan bahkan bisa mengatur iklan---sekalipun itu untuk kepentingan pribadi yang dibungkus dalam pencitraan publik.
Skandal Bank Daerah Terkuak. Beberapa Bank, Satu Pola
Bank Jatim kena kredit fiktif Rp569 miliar. Komisi C DPRD Jatim menyarankan penggantian total direksi.
Bank DKI error sistem digital, dan pencairan KJP tertunda. Gubernur langsung mecat Direktur IT.
Bank BJB, paling sensasional. Iklan jumbo ratusan miliar dikucurkan, dan KPK mulai bertanya: "Untuk siapa semua ini?"
Mereka tak saling kenal. Tak pernah duduk satu forum. Tapi ketiganya memiliki satu benang merah, gubernur yang terlalu jauh masuk ke dalam dapur bank.
Dan bukan hanya mereka. Di luar tiga nama besar tadi, publik juga telah menyaksikan skandal besar lain yang mengguncang Bank Papua, Bank NTT, Bank Jateng, Bank Sumut, Bank Sulselbar, hingga Bank Maluku. Ada yang terseret kasus kredit fiktif ratusan miliar, ada pula yang tersandung pembagian bonus ilegal, bahkan gagal bayar karena investasi bodong. Semua mengarah pada pola yang sama: manajemen yang rapuh, direksi yang ditekan, dan pengawasan yang lemah karena politik terlalu dalam mencengkeram bank.
Ketika cinta pada bank daerah terlalu dalam, maka profesionalisme tak lagi punya ruang. Yang berbicara hanyalah kuasa.
Profesional atau Penurut?
Di atas kertas, bank adalah lembaga profesional.
Direksi dipilih lewat uji kelayakan, integritas jadi harga mati.
Tapi dalam praktik, banyak yang mengatakan:
"Yang dicari bukan yang cerdas, tapi yang bisa 'diatur.'"
Direksi yang teguh prinsip, akan dicap keras kepala.
Yang tunduk, akan naik cepat.
Yang kritis, bisa tiba-tiba hilang jabatan.
Seperti kasus Direktur IT Bank DKI---dipecat hanya karena sistem error. Tapi benarkah hanya sistemnya yang bermasalah, atau ada pesan politik di balik pencopotan?
"Bunuh satu monyet, untuk menakut-nakuti seribu kambing."
Dalam konteks ini, Â copot satu direksi, agar yang lain tak berani melawan arus kuasa.
ATM Kekuasaan Berkedok Bank Daerah
Bank daerah seharusnya:
Menyalurkan kredit untuk UMKM.
Menopang fiskal daerah.
Menjadi tulang punggung ekonomi lokal.
Tapi faktanya:
Banyak digunakan untuk proyek-proyek populis.
Dana CSR diarahkan ke kegiatan "strategis" yang tidak transparan.
Bahkan iklan pun bisa jadi alat "menjual wajah" pejabat.
Cinta seperti ini tidak lagi suci. Ia berbau uang dan beraroma kekuasaan.
Dan celakanya, semuanya dibayar dari saldo rakyat.
Antara Skandal, Sistem, dan Setir Politik
Gosip Lisa dan RK boleh jadi viral. Tapi lebih viral lagi seharusnya adalah pertanyaan ini,Â
Berapa banyak uang rakyat yang dibakar hanya demi citra? Berapa banyak direksi bank yang dipaksa tunduk karena cinta gubernur pada kuasa?
Gubernur hari ini bukan hanya pemimpin administratif.
Mereka adalah pengendali kursi, arah, dan dana.
Dan selama mereka bisa mencopot, menunjuk, dan mengatur bank daerah sesuka hati,
Maka bank tidak lagi jadi institusi keuangan. Ia jadi panggung drama---dengan naskah yang ditulis oleh kepentingan.
Sudah saatnya kita bertanya ?
Apakah bank daerah masih menjadi milik publik? Atau sudah jadi properti politik pribadi?
Jika cinta bisa menumbuhkan harapan, maka cinta pada bank daerah yang berlebihan hanya akan menumbuhkan kerakusan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI