Mohon tunggu...
Abdul Wahid Azar
Abdul Wahid Azar Mohon Tunggu... Penulis Buku Non Fiksi (BNSP)

Menulis subtansi kehidupan, Jujur pada realitas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lebaran, Maksimal di Kampung, Minimalis di Kota, Siapa Lebih Bermakna?

31 Maret 2025   04:41 Diperbarui: 31 Maret 2025   07:27 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inilah Kampungku, sungai, sawah yang hijau menambah kerinduan (Foto-Dok Pribadi)

Menu yang disajikan adalah yang terbaik dari apa yang dimiliki ayam kampung, telur bumbu bali, serundeng, sambal goreng, dan urap sayur. Makanan ini bukan untuk dipamerkan, melainkan sebagai simbol rasa syukur dan solidaritas sosial.

Usai kenduri, masyarakat kampung tidak duduk diam. Mereka menjalani ritual sungkem dan silaturahmi keliling, dari rumah ke rumah. 

Anak-anak, orang tua, hingga pemuda saling menyapa, memohon maaf, dan berbagi cerita. Suasana akrab dan guyub terasa di setiap sudut. 

Mereka yang hanya pulang kampung setahun sekali tetap disambut hangat, tanpa basa-basi. Tidak ada kelas sosial saat Lebaran di kampung, semua lebur dalam nuansa syukur dan persaudaraan.

Bagi para perantau, mudik menjadi bagian paling istimewa. Mereka tak hanya membawa diri, tapi juga oleh-oleh: beras, singkong, pisang, bahkan telur asin atau buah dari tempat rantau. 

Anak-anak yang mudik bukan sekadar "pulang," tapi kembali dengan membawa cinta, tanggung jawab, dan kenangan masa kecil. 

Semua dilakukan meski harus berdesakan di bus atau kereta, bermacet-macetan di jalan, bahkan mengorbankan tabungan. Tapi semua itu terasa ringan karena pulang ke kampung adalah pulang ke pelukan nilai-nilai yang tulus.

Di kampung, Lebaran adalah momen maksimal, bukan dalam arti kemewahan, tetapi dalam semangat, usaha, dan kebersamaan. 

Masyarakat kampung berupaya sekuat tenaga menyambut tamu, menyediakan hidangan terbaik, menjaga tradisi, dan merawat nilai-nilai silaturahmi. Bahkan dengan kondisi ekonomi terbatas, semua tetap dilakukan dengan tulus dan lapang dada.

Jadi, siapa yang lebih bermakna? Kota dengan Lebaran minimalis yang nyaman dan praktis, atau kampung dengan Lebaran maksimal yang penuh usaha dan kebersamaan?

Bagi saya, yang tumbuh besar dalam suasana ambeng, kenduri, dan keliling rumah tetangga sambil mengucap minal aidin wal faizin, jawabannya jelas. Di kampung, Lebaran adalah momen spiritual dan sosial yang tak tergantikan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun