Industri musik Indonesia menghadapi tantangan hukum terkait hak cipta, terutama dalam penggunaan lagu oleh penyanyi tanpa izin pencipta lagu meskipun royalti telah dibayarkan.Â
Kasus Agnez Mo, yang dinyatakan melanggar hak cipta atas lagu "Bilang Saja", serta gugatan 29 musisi ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang menuntut perubahan aturan izin dalam UU Hak Cipta, memperlihatkan dilema besar antara perlindungan hak pencipta dan kemudahan bagi musisi dalam berkarya.Â
Mereka menginginkan sistem yang memungkinkan pembayaran royalti tanpa memerlukan izin eksplisit dari pencipta lagu.
Persoalan Hukum dalam Gugatan Musisi
Pasal 9 UU Hak Cipta mengatur bahwa pencipta memiliki hak ekonomi atas ciptaannya, yang mencakup penerbitan, distribusi, dan pertunjukan.Â
Setiap penggunaan karya cipta untuk kepentingan ekonomi harus mendapatkan izin dari pencipta atau pemegang hak cipta. Tanpa izin, penggandaan dan penggunaan komersial ciptaan tidak diperbolehkan.
Pasal ini bersifat universal dan berlaku untuk semua ciptaan, bukan hanya musik.Â
Oleh karena itu, pendaftaran hak cipta dapat dikembangkan sebagai dasar bagi algoritma deteksi otomatis yang memungkinkan sistem digital mendeteksi penggunaan karya yang memerlukan izin atau pembayaran royalti secara langsung.
Para musisi berpendapat bahwa sistem saat ini terlalu membebani mereka dalam berkarya.Â
Mereka mengusulkan agar pembayaran royalti cukup dilakukan tanpa memerlukan izin tambahan dari pencipta lagu. Dengan digitalisasi, mereka berharap sistem perizinan dan pembayaran dapat berjalan otomatis, lebih transparan, dan efisien.
Solusi Digitalisasi dan AI dalam Hak Cipta