Ketika mendengar atau melihat kata-kata motivasi dari seorang motivator, sering kali kita terbengong sejenak, lalu berkata dalam hati, "Bener juga ya katanya... masuk akal juga... harusnya gue bisa berubah." Tapi apakah setelah itu kita benar-benar melakukan perubahan?
Nyatanya, 30 menit kemudian, semua kata-kata bijak itu menguap begitu saja. Yang tersisa hanyalah ingatan samar tentang wajah Mario Teguh yang penuh senyum atau Merry Riana yang cantik jelita.Â
Motivasi terasa seperti angin sepoi-sepoi, menyentuh sebentar lalu berlalu, meninggalkan kita kembali dalam kebiasaan lama.
Tapi coba bayangkan... bagaimana jika yang datang bukan sekadar motivasi, tapi tamparan keras dari kehidupan?
Bayangkan saat seseorang menghina kita, meremehkan harga diri kita...
"Buat apa kamu kuliah? Paling juga ujung-ujungnya nganggur! Sawah bapakmu habis, kerja pun susah!"
Kata-kata itu menohok, menyakitkan, tapi anehnya justru melekat dalam ingatan. Ia menyulut bara dalam diri, membuat kita ingin membuktikan sesuatu. "Lihat saja nanti, aku akan tunjukkan kalau aku bisa!"
Konon, Bung Karno pun memiliki semangat membara karena hinaan. Dihina oleh Belanda, direndahkan, dilarang bergaul dengan noni-noni Belanda, ia menyimpan luka itu dalam hatinya---
bukan untuk meratapi, tapi untuk membangun tekad. Dari sakit hati itu, lahirlah semangat juangnya yang tak terbendung hingga kemerdekaan diraih (Sumber: Hops.id).
Dan seperti itu pula kehidupan... kadang bukan pujian yang mengubah kita, tapi justru rasa sakit.
Ramadhan, Tamparan Realitas, dan Jalan Menuju Perubahan
Ramadhan datang lagi. Seperti tamu agung yang membawa berkah, tapi juga sekaligus cermin besar yang memantulkan siapa kita sebenarnya.