Mohon tunggu...
Abdul Wahid Azar
Abdul Wahid Azar Mohon Tunggu... Penulis Buku Non Fiksi (BNSP)

Menulis subtansi kehidupan, Jujur pada realitas

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Quo Vadis Danantara, Menuju Holding Profesional atau Koalisi Politik ?

25 Februari 2025   06:30 Diperbarui: 25 Februari 2025   06:30 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Super Holding terjerat kepentingan politik, besar sepertin gajah lamban

Berdirinya Badan Pengelolaan Investasi (BPI) Danantara memunculkan berbagai pertanyaan mendasar, terutama terkait legalitas, tujuan, dan mekanisme kerja yang akan dijalankan.

Sebagai entitas baru, Danantara diharapkan menjadi solusi dalam mengelola aset negara agar lebih efisien. Namun, apakah badan ini benar-benar dirancang sebagai holding profesional, atau justru alat politik yang memperumit birokrasi tanpa memberikan dampak nyata bagi perekonomian nasional?

Latar Belakang Berdirinya Danantara dan Dasar Hukumnya

Presiden RI Prabowo Subianto menandatangani Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 2025 yang mengatur organisasi dan tata kelola Badan Pengelolaan Investasi Danantara. Keppres ini diteken pada 24 Februari 2025 di Istana Kepresidenan, menjelang peresmian peluncuran Danantara.

Selain itu, Presiden juga menandatangani Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang memperkuat landasan hukum pembentukan Danantara sebagai badan pengelola investasi negara.

Danantara didirikan berdasarkan perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Revisi ini disahkan dalam rapat paripurna DPR pada 4 Februari 2025, yang secara resmi mengatur tugas serta fungsi Danantara sebagai badan pengelola investasi negara.

Tugas Pokok dan Fungsi BPI Danantara

Danantara bertanggung jawab dalam mengelola dividen yang dihasilkan oleh BUMN guna meningkatkan optimalisasi investasi dari keuntungan tersebut. Selain itu, Danantara memiliki kewenangan dalam menentukan kebijakan Penyertaan Modal Negara (PMN) agar lebih efektif dan tepat sasaran dalam mendukung pertumbuhan dan pengembangan BUMN.

Sebagai holding investasi, Danantara juga berperan dalam mengonsolidasikan aset pemerintah agar lebih efisien dan memiliki nilai tambah yang tinggi. Investasi yang dikelola Danantara bersumber dari aset pemerintah yang dipisahkan dari APBN, memungkinkan mekanisme pengelolaan yang lebih fleksibel dan profesional.

Selain itu, Danantara berfungsi untuk mengoptimalkan pemanfaatan aset negara dalam mendukung proyek-proyek berkelanjutan di berbagai sektor strategis seperti energi, industri, hilirisasi sumber daya alam, dan ketahanan pangan.

Konsolidasi ini menargetkan pengelolaan dana awal sebesar Rp1.000 triliun yang berasal dari penggabungan aset tujuh BUMN besar bersama Indonesia Investment Authority (INA).

Namun, tanpa kejelasan dalam batas kewenangan dan mekanisme pengambilan keputusan, ada potensi bahwa Danantara hanya akan menjadi lapisan birokrasi tambahan yang justru memperlambat pengambilan keputusan bisnis.

Jika fungsi utamanya hanya mengelola aset tanpa kemampuan investasi yang agresif, maka sulit untuk membayangkan bagaimana Danantara bisa bersaing dengan entitas sejenis di tingkat global.

Regulator atau Pemain Bisnis?

Salah satu isu utama yang muncul adalah apakah Danantara akan bertindak sebagai regulator yang mengawasi kinerja BUMN atau justru menjadi pemain aktif dalam industri yang dikelolanya.

Jika berperan sebagai regulator, maka Danantara seharusnya tidak mengintervensi keputusan bisnis BUMN yang sudah go public.

Namun, jika ingin menjadi pemain bisnis, maka Danantara akan memasuki area yang rawan konflik kepentingan, terutama dalam pengelolaan aset yang sudah memiliki investor publik.

Ketidakjelasan peran ini dapat menimbulkan ambiguitas kebijakan yang justru merugikan stabilitas sektor ekonomi yang seharusnya diperkuat oleh kehadiran Danantara.

Teori Red Tape dan Dampaknya terhadap Danantara

Teori Red Tape (Bozeman, 1993) menjelaskan bahwa birokrasi yang terlalu besar dan regulasi yang berlebihan justru memperlambat efektivitas organisasi. Dalam konteks Danantara, kehadiran badan ini menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas tata kelola BUMN.

Jika sebelumnya pengelolaan aset negara sudah berada di bawah koordinasi Kementerian BUMN, lalu apa urgensi membentuk badan tambahan seperti Danantara? Apakah badan ini akan benar-benar meringankan beban birokrasi atau justru menambah kompleksitas administrasi?

Jika Danantara menciptakan lapisan tambahan dalam pengambilan keputusan, maka bisa memperlambat kinerja BUMN yang seharusnya gesit dalam beradaptasi dengan tantangan ekonomi global.

Dengan bertambahnya regulasi dan prosedur administratif, BUMN yang sebelumnya sudah memiliki mekanisme manajemen tersendiri harus menyesuaikan diri dengan entitas baru yang memiliki hierarki berbeda. Alih-alih menciptakan efisiensi, Danantara berpotensi menambah rantai birokrasi yang mengurangi daya saing BUMN.

Sindrom Perusahaan Gajah, Risiko Holding yang Lamban

Dalam perspektif Megatrends (John Naisbitt), perusahaan besar sering kali terjebak dalam struktur yang terlalu hierarkis dan lamban, menyebabkan hilangnya fleksibilitas dan daya saing.

Fenomena ini disebut sebagai 'perusahaan gajah'---di mana organisasi yang terlalu besar menjadi sulit bergerak karena beban birokrasi yang berlebihan. Alih-alih menjadi solusi bagi optimalisasi aset negara, Danantara justru berisiko menjadi hambatan baru bagi BUMN yang ingin tumbuh dan berkembang secara kompetitif di pasar global.

Jika melihat model super holding yang lebih sukses seperti Temasek Holdings di Singapura, ada perbedaan mendasar dalam pendekatan pengelolaan. Temasek tidak mengontrol operasional BUMN secara langsung, tetapi bertindak sebagai pemegang saham yang mengawasi dan memberikan arah strategis.

Sebaliknya, Danantara dikhawatirkan akan mengambil peran lebih administratif, yang dapat membatasi kebebasan manajemen BUMN dalam mengambil keputusan bisnis.

Sebagai perbandingan, General Electric (GE) juga pernah mengalami krisis serupa, di mana skala bisnis yang terlalu besar menyebabkan lambatnya pengambilan keputusan dan kurangnya inovasi, hingga akhirnya harus melakukan restrukturisasi besar-besaran untuk bertahan di pasar.

Perusahaan yang seharusnya berorientasi pada profit dan strategi bisnis global dapat terhambat oleh proses administratif tambahan yang mengarah pada inefisiensi dan ketidakpastian dalam pengambilan keputusan.

Legitimasi Politik yang Tidak Percaya Diri?

Dari perspektif politik, pembentukan Danantara juga menimbulkan kesan bahwa ada ketidakpercayaan terhadap sistem yang sudah berjalan. Jika pemerintah yakin dengan model tata kelola BUMN yang ada saat ini, maka tidak perlu ada badan tambahan yang berpotensi menggeser peran direksi dan komisaris yang sudah diatur dalam regulasi korporasi.

Namun, jika pembentukan Danantara merupakan langkah untuk memperkuat kontrol politik atas aset negara, maka hal ini justru menunjukkan bahwa ada kepentingan tertentu di balik kebijakan ini.

Ambivalensi semakin terlihat dengan masuknya dua mantan Presiden dalam dewan pengawas Danantara, yang memunculkan pertanyaan besar, apakah ini murni strategi bisnis atau ada kepentingan politik yang bermain?

Kehadiran figur politik di dalam struktur pengawasan berisiko menimbulkan intervensi dalam pengambilan keputusan investasi, yang seharusnya berbasis pada efisiensi dan profitabilitas.

Legitimasi politik yang tidak percaya diri ini berisiko menimbulkan ketidakpastian bagi investor, baik di dalam maupun luar negeri, serta menurunkan daya saing BUMN yang berada di bawah kendali Danantara.

Danantara hadir dengan misi besar untuk mengoptimalkan aset negara, tetapi tanpa kejelasan fungsi, batasan kewenangan, dan independensi dari intervensi politik, ia justru bisa menjadi instrumen yang memperumit pengelolaan BUMN.

Jika ingin benar-benar sukses seperti Temasek atau Khazanah, maka Danantara harus memastikan bahwa ia bekerja secara profesional, transparan, dan tidak menjadi bagian dari permainan politik yang justru melemahkan perekonomian nasional.

-----------------------

Referensi

Bozeman, B. (1993). A Theory of Government "Red Tape". Journal of Public Administration Research and Theory.

Naisbitt, J. (1982). Megatrends: Ten New Directions Transforming Our Lives. Warner Books.

Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 2025 tentang organisasi dan tata kelola Badan Pengelolaan Investasi Danantara.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Studi kasus Temasek Holdings dan General Electric (GE) dalam tata kelola investasi negara dan efisiensi perusahaan besar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun