Dalam pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan, bahwa setiap orang berhak  untuk hidup, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Dalam  ayat (2) ditegaskan, setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera, lahir, dan batin.
Dalam ketentuan itu jelas menunjukkan, bahwa ada hak fundamental yang tak bisa diabaikan oleh pelaksana perguruan tinggi dalam mamanajerial sumberdaya manusianya. Hak-hak asasi yang sudah digariskan secara hukum wajib dijunjung tinggi.  Hak hidup dan meningkatkan taraf hidupnya secara manusiawi merupakan  hak privilitasnya.
Sejak dini, calon mahasiswa  merupakan kandidat pejuang HAM harus lebih dulu dihormati hak-hak asasinya. Mereka sulit terbentuk pribadinya jadi pejuang HAM jika di awal masuk  dunia kampus saja, mereka sudah menjadi korban pengebirian HAM.  Mereka akan memilih garis yang berseberangan dengan tugas sebagai pelindung dan penegak HAM jika dalam dirinya menguat dan hidup dengan subur pikiran-pikiran tak jernih dan "memperbudaknya".
Secara spesifik, dalam  pasal 12 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 disebutkan, bahwa setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan  pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman,  bertaqwa, bertanggungjawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.
 Ketentuan itu sudah jelas menentukan, bahwa tugas perguruan tinggi bukan menjadi "kamp" yang mengarahkan  anak-anak didiknya jadi objek percobaan paradigma keamanan, tetapi perguruan tinggi wajib mencerdaskan, memoralkan, dan menyejarahkan pola edukatif yang berbasis "memanusiakan manusia".  Mereka (mahasiswa) apa mungkin dapat menunaikan tugasnya sebagai "manusia" jika sejak dini, mereka tak diperlakukan layaknya sebagai manusia.