Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Progresif Empati Era Pandemi

28 Agustus 2020   07:38 Diperbarui: 28 Agustus 2020   07:33 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Antara Foto/Bowo Sucipto

Empati, menurut Daniel Goleman, yang menulis buku Kecerdasan Emosional, adalah kemampuan memahami dan turut merasakan perasaan orang lain. Empati itu hakikatnya adalah perwujudan kasih sayang sesama manusia. Dengan demikian, empati tidak saja baik untuk ukuran manusia, tetapi juga dipandang baik oleh agama.

Empati yang disampaikan Daniel Goleman akhirnya mengisi ruang public sebagai kata yang masyhur dikutip, khususnya saat digunakan untuk menyadarkan dan membangkitkan komitmen kemanuiaan seseorang terhadap seseorang atau sekelompok orang sedang diuji dengan penderitaan, kelaparan, kemiskinan,  atau ketidakberdayaan.

Ketika Daniel Goleman masih baru "memproklamirkan" tentang pentingnya empati di abad ini, padahal komunitas Islam, sudah mengetahuinya sejak 15 abad yang lalu. Nabi Muhammad bersabda, ''hak (kewajiban) seorang Muslim atas seorang Muslim yang lain ada Dlima, yaitu: menjawab salam, mendoakan orang yang bersin, memenuhi undangan, mengunjungi yang sakit, dan mengiringi jenazah.'' (HR Bukhari). B

Dalam salah satu ayat Alquran, Allah SWT pernah menyebutkan bahwa di antara karakter yang menjadi ciri khas kaum Muslimin adalah membagi kasih sayang terhadap sesama (QS Al-Fath:29)>

Umumnya, manusia itu khilaf terhadap koreksi diri. Apa yang dilakukan dibiarkan bebas, lepas kontrol, dan kehilangan basis kebenaran. Kritik terhadaop nurani jarang kita lakukan, sehingga kepekaan kita terhadap panggilan kemaslahatan sosial acapkali tidak sampai membumi, gagal menembus realitas relung nadi kehidupan makro masyarakat yang sedang mengalami ragam ujian dan kesulitan. Apa yang terucap tidak selalu sebahasa dengan apa yang diperbuat, atau apa yang terucap diingkarinya dalam perbuatan.

Bertold Brecht dalam "Semua atau Tidak Sama Sekali" pernah menyindir, "Kau yang lapar, siapa yang akan memberimu makan?datanglah pada kami, kami pun kelaparan. Hanya orang-orang lapar yang akan memberimu makan.

Sindiran ini sejatinya merupakan kritik tajam yang diarahkan pada manusia yang sedang tumpul nuraninya. Kalau manusia sedang di titik tumpul nurani ini, maka dirinya tidak mampu menerjemahkan, apalagi menjembatani (membebaskan) problem kehidupan sesama dan masyarakatnya.

Idealnya, manusia beragama tidak boleh berada di titik tumpul nurani itu, karena kalau ini yang terjadi, bangunan kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan akan dipilari oleh manusia-manusia yang kehilangan etos keadabannya. Konstruksi keadaban ini dikalahkan atau dilindas oleh etos "kebiadaban".

Sebagai contoh,  jika nurani lagi tumpul, manusia akan lebih gampang menempatkan  atau memperlakukan orang yang sedang lapar, sedang jadi korban bencana, sedang terkena penyakit malaria, flu burung, atau penyakit kontemporer lainnya, serta anak-anak bangsa yang kurus keriput akibat kekurangan pangan dan mengidap malnutrisi (kekurangan gizi), bukan sebagai obyek jihad kekuasaan dan kemanusiaan, tetapi dianggap sebagai beban dan  masalah. Jihad kekuasaan dan kemanusiaan tidak berjalan ideal, karena dimensi ini dibiarkan berjalan tanpa panduan kebeningan atau kefitrian nurani.

Ironisnya lagi, kita juga memperlakukan mereka secara sewenang-wenang. Semestinya, dengan kesulitan yang diderita atau menjeratnya itu, kita alirkan atau fokuskan kinerja dan amanat kepemimpinan yang berbingkaikan kebeningan nurani, dan bukannya kita terjebak meminggirkan, melecehkan, dan menganiayannya. 

Misalnya pengabdian pada korban bencana seperti terkena dampak Covid-19 tidak semata memberikan santunan atau menunjukkan jiwa kemanusiaan dengan cara mengumpulkan dana yang bisa disumbangkan untuk kepentingan korban, tetapi juga ber-empati dan memberikan spirit kejiwaan, serta menyelematkan diri dan kelompok dari kecenderungan mengemas "tangan-tangan kotor" (the dirty hands).

 Nabi mengancam orang-orang tidak empati dan suka berlkau dehimanistik dengan sabdanya "akan dihimpun orang-orang yang sewenang-wenang dan takabur pada hari kiamat sebagai butir-butir debu. Mereka akan diinjak-injak oleh manusia, karena sangat  hinanya di sisi Allah Ta'ala" (Hadis)

Sabda Nabi tersebut sebagai peringatan keras terhadap manusia yang hidupnya diabdikan dirinya dalam perilaku sewenang-wenang, otoritarian, atau popular disebut juga dengan kezaliman. Kezaliman merupakan perilaku yang bercorak menista, menyakiti, menyulitkan, dan mengakibatkan terjadinya kesengsaraan pada orang lain.

Jika yang melakukan itu individu dan sekelompok orang, maka kesewenang-wenangannya ini berupa kezaliman personal dan kolektif. Perilaku  demikian ini masih kalah bobot deritanya jika dibandingkan kalau yang melakukan adalah jaringan terorganisasi yang meminjam baju kekuatan politik. 

Sebab jaringan ini bisa membuat derita rakyat berkepanjangan lewat sistem dan budaya yang dibangunnya secara tidak adil dan manusiawi.  Kalangan elit demikian sedang kehilangan komitmen moral, terdistorsi kebeningan nuraninya, dan mentolelir berlakunya tindakan-tindakan yang tidak berbasiskan nilai-nilai kemanusiaan, kejujuran, keadilan, dan egalitarianisme.

Kalau mau belajar dari nurani kenabian yang ditawarkan Nabi Muhammad SAW, tentulah di tengah masyarakat akan banyak ditemukan  suasana kedamaian, ketenangan, dan kesejahteraan. Beliau mengajarkan "kalau kalian ingin menemukanku dengan cara yang gampang, maka carilah aku diantara orang-orang kecil".  

Tawaran ini menunjukkan, bahwa nurani kenabian terletak pada kehidupan orang-orang yang hidupnya sedang kesulitan. Mereka yang hidup dalam balutan kesulitan dengan stigma sebagai orang-orang kecil, diantaranya  adalah kumpulan orang-orang yang kehilangan keberdayaan ekonomi, ditimpa bencana alam, dan sedang tertindas. Kalau nurani ini sudah diarahkan untuk membehingkan perilaku, maka masyarakat ini akan memiliki banguna kehidupan yang damai dan saling berempati.

oleh : Abdul Wahid

Pengajar Fakultas Hukum dan Progam Pascasarjana Universitas Islam Malang serta penulis buku hukum dan agama

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun