Mohon tunggu...
Abdullah Zain
Abdullah Zain Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Mahasiswa Universitas Diponegoro

In Harmonia Progressio

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stop Toxic Masculinity, Kita Hidup di Era Postmodern

7 Maret 2021   15:37 Diperbarui: 8 Maret 2021   13:08 1594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Stop Toxic Masculinity, Kita Hidup di Era Postmodern!

Dewasa ini kita sering mendengar istilah toxic, kalau dalam Bahasa Indonesia adalah racun, sama halnya dengan racun, kata toxic diartikan sebagai orang yang membawa pengaruh buruk atau negatif baik dalam dunia nyata ataupun maya. Dan perilaku toxic yang mengarah kepada sisi maskulinitas lelaki disebut toxic masculinity. Saya yakin anda sering menjumpai perilaku tersebut, dan yang perlu anda tahu, perilaku toxic masculinity tidak hanya dapat mengarah ke fisik, namun juga selera, penampilan, pekerjaan, dan hal lain yang dianggap berkaitan dengan sisi maskulinitas lelaki.

Saya menulis artikel ini karena tertarik dengan beberapa kejadian yang saya alami akhir tahun lalu, bahwa ada seorang lelaki yang hendak meminjam baju, kemudian ia diambilkan baju berwarna merah muda, tetapi dia minta warna yang lain dengan alasan karena warna merah muda identik dengan perempuan, walaupun sebenarnya ia suka model bajunya yang bagus, tapi ia tidak mau memakainya, apalagi kalau teman-temannya tahu pasti akan diejek.

Kemudian kejadian yang lain ketika ada lelaki paruh baya yang dimintai tolong ibunya untuk menyapu halaman rumah, kebetulan rumah itu terletak dipinggir jalan umum. Lelaki tersebut tidak lekas berangkat menyapu halaman rumah, karena ia malu kalau dilihat orang, soalnya pekerjaan menyapu identik dengan pekerjaan perempuan.

Dua contoh fenomena di atas berkaitan dengan apa yang dimaksud dalam judul, yaitu toxic masculinity.

Perilaku tersebut berbeda dengan shaming, walaupun hampir sama, karena kasus shaming terjadi jika sudah melontarkan perkataan atau komentar, baik dalam dunia nyata atau maya, sedangkan toxic ini tidak hanya saat melontarkan perkataan saja, melainkan sudah sejak dalam pikiran, paham, dan anggapan.

Sekarang coba kita berikan beberapa contoh perilaku toxic masculinity, antara lain:

  1. lelaki tidak boleh bersedih dan menangis
  2. mengejek teman lelaki yang pakai baju berwarna merah muda
  3. menertawai lelaki yang bekerja sebagai penari, koki, perias ataupun perawat
  4. anggapan bahwa lelaki harus berbadan kekar
  5. tidak mau melakukan aktivitas yang dianggap sebagai aktivitas perempuan seperti menyapu, mencuci, dan pekerjaan rumah lainnya.

Mungkin masih banyak beberapa kasus toxic masculinity yang anda jumpai, namun seharusnya kita sadar bahwa kita hidup di era postmodern, dimana kebenaran bersifat relatif, pemahaman bersifat subjektif, dan interpretasi dari manusia itu sendiri. Pola berpikir kita harusnya sudah tidak kaku, saklek, tapi harus terbuka atau Bahasa kerennya open minded.

Dari berbagai sumber mengatakan era postmodern hadir pada akhir abad ke-20, atau dengan terbitnya buku karangan Jean Fracois Lyotard dengan judul "The Postmodern Condition: A Report on Knowledge" pada tahun 1970-an, dan hal itu semestinya juga ikut merubah pandangan tradisional mengenai sifat-sifat maskunilinas yang melekat pada lelaki. 

Di Indonesia sendiri sudah terbukti bahwa anggapan sisi maskulinitas lelaki harus dominan dan berkuasa dapat dipatahkan pada saat tahun 2001, ketika Megawati Soekarnoputi berhasil menjadi Presiden Republik Indonesia, seorang perempuan yang memiliki sisi maskulin, mendominasi, dan berkuasa.

Namun ternyata pandangan tentang sisi maskulinitas yang melekat pada lelaki masih ada. Celakanya, perilaku toxic masculinity tersebut selama ini telah membatasi kebebasan berekspresi, terutama bagi seorang lelaki. Padalah menrut saya, maskulin dan feminis itu tidak didasarkan penuh pada jenis kelamin, atau gender. Karena seorang lelaki pasti juga punya sisi feminim, begitupun seorang wanita pasti juga punya sisi maskulin. Jadi sudah selayaknya kita saling merhargai perbedaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun