Mohon tunggu...
abdullahafifbauzir
abdullahafifbauzir Mohon Tunggu... Mahasiswa

Hubungan Internasional'23 Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hegemoni Dollar AS pasca Bretton Woods hingga Langkah Indonesia Bergabung BRICS

1 Mei 2025   22:04 Diperbarui: 1 Mei 2025   22:04 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Keruntuhannya Sistem Bretton Woods: Bukan Akhir dari Dominasi Dolar

Tahun 1973 menjadi titik balik penting dalam sejarah ekonomi global. Sistem Bretton Woods, yang sejak 1944 telah mengatur tata kelola moneter dunia melalui skema nilai tukar tetap berbasis dolar AS dan emas, resmi runtuh. Krisis kepercayaan terhadap kemampuan Amerika Serikat dalam menukar dolar dengan emas memicu keruntuhan sistem ini. Namun yang menarik, keruntuhan tersebut tidak serta-merta mengakhiri dominasi dolar. Sebaliknya, dunia justru menyaksikan babak baru dari hegemoni mata uang tersebut.

Sebelum 1973, dolar AS adalah jangkar sistem nilai tukar global. Negara-negara anggota Dana Moneter Internasional (IMF) mengikat mata uang mereka terhadap dolar, dan dolar pada gilirannya diikat terhadap emas dengan rasio tetap: 35 dolar per ons. Dalam struktur ini, AS memegang peranan unik dan strategis. Namun, ketika beban pembiayaan Perang Vietnam dan belanja domestik memicu defisit dan inflasi di AS, kepercayaan internasional mulai luntur. Bank sentral negara-negara lain mulai meragukan kemampuan AS untuk mempertahankan konversi dolar terhadap emas.

Akhirnya, pada Agustus 1971, Presiden Richard Nixon menutup jendela emas ("Nixon Shock"). Dunia kemudian memasuki masa transisi menuju sistem nilai tukar mengambang (floating exchange rate). Tapi yang menarik, meski sistem Bretton Woods runtuh, posisi dolar tak ikut jatuh. Bahkan, dalam sistem kurs mengambang yang baru, dolar tetap menjadi mata uang dominan dalam perdagangan internasional, cadangan devisa, dan utang global. Inilah yang disebut oleh para pakar Ekonomi Politik Internasional (EPI) sebagai bentuk kekuasaan struktural yang tersembunyi.

Susan Strange dan Kekuasaan Struktural Dolar

Dalam kerangka teoretis EPI, Susan Strange memberikan wawasan penting tentang bagaimana kekuasaan bekerja dalam sistem moneter internasional. Ia membedakan antara relational power (kekuasaan antar aktor) dan structural power (kemampuan untuk membentuk struktur di mana aktor lain harus beroperasi). Dolar AS adalah contoh nyata dari structural power. Meskipun negara lain bebas menentukan kebijakan nilai tukarnya, mereka tetap harus beroperasi dalam sistem global yang berpusat pada dolar.

Strange menyebut bahwa uang dan kredit bukanlah instrumen netral, melainkan alat kekuasaan. Ketika dunia beralih ke sistem kurs mengambang, negara-negara sebenarnya tidak melepaskan diri dari dominasi dolar. Mereka hanya mengganti bentuk ketergantungan: dari skema fixed exchange menjadi floating exchange, tetapi tetap berporos pada dolar.

Transisi Indonesia: Dari Ketergantungan Lama ke Ketergantungan Baru

Indonesia tidak luput dari dampak transisi global ini. Setelah menjadi anggota IMF pada 1954, Indonesia sempat mengalami masa-masa fluktuasi moneter yang tajam. Di era Orde Baru, nilai tukar rupiah terhadap dolar sempat dijaga secara ketat. Namun, krisis moneter Asia 1997-1998 mengguncang fondasi sistem nilai tukar tetap yang longgar (managed peg) tersebut.

Akibat krisis, Indonesia harus menerima paket bantuan IMF yang mengharuskan reformasi ekonomi besar-besaran. Salah satu syaratnya adalah melepas nilai tukar tetap dan membiarkan rupiah mengambang bebas. Sejak saat itu, Indonesia resmi menganut sistem nilai tukar mengambang (floating exchange rate), yang memberi fleksibilitas terhadap gejolak eksternal, namun juga membuat rupiah rentan terhadap dinamika pasar global.

Yang menjadi ironi, meskipun rupiah mengambang, Indonesia tetap sangat bergantung pada dolar. Cadangan devisa Bank Indonesia mayoritas disimpan dalam bentuk dolar AS. Transaksi ekspor-impor, pembayaran utang luar negeri, hingga investasi asing, semuanya tetap didominasi oleh greenback. Artinya, meski secara sistem kita lebih bebas, secara struktural kita masih terikat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun