Mohon tunggu...
Abdullah Fahrieza
Abdullah Fahrieza Mohon Tunggu... Mahasiswa

Sarjana hukum yang aktif menulis sebuah opini di berbagai platform berita

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Refleksitas Pemerintah dalam Menanggapi Kritik Pasca Demo Justru Picu Eskalasi

4 September 2025   11:37 Diperbarui: 4 September 2025   11:37 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Demonstrasi publik merupakan manifestasi nyata dari partisipasi politik dalam sebuah negara demokratis. Ia adalah mekanisme penyampaian aspirasi dan kritik ketika saluran formal dianggap tidak lagi responsif. Namun, dinamika pasca demo seringkali justru menjadi fase yang lebih krusial daripada aksi itu sendiri. Pada titik inilah refleksitas pemerintah yaitu kemampuan untuk merespons, merefleksikan, dan beradaptasi terhadap kritik yang disampaikan diuji.

Aksi demonstrasi adalah cara masyarakat mengungkapkan rasa ketidakpuasan mereka terhadap kebijakan pemerintah mengurus bangsa. Demonstrasi atau unjuk rasa merupakan cara mereka untuk menuntut haknya secara kolektif, dimana jika terdapat suatu kebijakan yang dinilai tidak berpihak dan mensejahterahkan kelangsungan hidup mereka.

Di tengah masyarakat sulit menjalani kehidupan sehari-hari oleh berbagai tekanan ekonomi mulai dari penerapan beban pajak yang ugal-ugalan, subsidi yang tidak tepat sasaran, harga kebutuhan pokok yang terus naik, dan minimnya lapangan pekerjaan. Sementara itu, sebagian pemangku kekuasaan hidup dengan kemewahan yang diperoleh dari pajak rakyat, di satu sisi wakil rakyat yang seharusnya sebagai representatif rakyat justru tidak memiliki perspektif kerakyatan.

Respon pemerintah dan wakil rakyat atas unjuk rasa yang dilakukan masyarakat agar didengarkan pendapat dan kritiknya kerap kali tidak hanya meredakan situasi, tetapi justru menjadi trigger bagi ekskalasi lebih lanjut. Kegagalan epistemik, yaitu ketidakmampuan pemangku kekuasaan untuk memahami kritik sebagai umpan balik justru melihatnya sebagai ancaman terhadap stabilitas negara. Kegagalan komunikatif, yang dimanifestasikan melalui respons defensif delegitimasi yang mematikan ruang dialog.

Rendahnya refleksitas pemangku kekuasaan yang ditandai dengan respons yang defensif, minim dialog, dan penggunaan narasi yang mencederai hati rakyat tidak hanya gagal meredakan ketegangan tetapi berfungsi sebagai katalisator bagi kericuhan lanjutan. Refleksitas yang tidak adaptif ini mengubah unjuk rasa damai menjadi siklus konflik yang sulit diselesaikan, sehingga sepantasnya pemangku kekuasaan memiliki empati dan pengakuan atas suara publik.

Refleksitas pemangku kekuasaan dalam pembahasan ini tidak hanya dimaknai lebih dari sekadar kecepatan tanggap. Ia adalah sebuah konstruk multidimensi yang mencakup kapasitas kognitif (untuk memahami akar kritik), komunikatif (untuk berdialog secara efektif), dan institusional (untuk beradaptasi dan melakukan koreksi kebijakan). Ketika salah satu dari dimensi ini absen, respon yang lahir adalah respon yang cacat (flawed response). Sebagaimana istilah vox poppuli vox dei (suara rakyat adalah suara tuhan) yang sering digaungkan negara demokrasi sudah seharusnya pemerintah dan wakil rakyat selalu mendengarkan, mempertimbangkan, dan mengkaji aspirasi rakyat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun