Mohon tunggu...
Abdul Haris
Abdul Haris Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Madya Bapas Baubau
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Alhamdulillah....

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pokok Perubahan Dalam Undang-Undang SPPA

2 Desember 2022   09:07 Diperbarui: 2 Desember 2022   09:15 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

A. Pendahuluan

Sistem penanganan perkara pidana anak yang tidak menjamin hak- hak Anak untuk tumbuh berkembang telah mendorong penggantian Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-undang tersebut diganti karena belum sepenuhnya menginkorporasikan prinsip dan nilai dalam Konvensi Hak Anak dan instrumen lain. Selain itu, perubahan diperlukan agar sejalan dengan perkembangan pemikiran mengenai Hak Asasi Manusia, khususnya yang berkenaan dengan hak anak. Juga termasuk perubahan paradigma dalam penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) dan diberlakukannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) berusaha mengubah filosofi Sistem Peradilan Pidana Anak, dimana pelaksanaan pidana yang dijatuhi kepada Anak sedapat mungkin menghindari Anak dari perampasan kemerdekaan. Karena hal tersebut dapat menurunkan minat, bakat, dan inovasi serta menghambat tumbuh kembang Anak. Sebaliknya, pelaksanaan pidana diupayakan lebih mengedepankan peningkatan dan penanaman rasa tanggung jawab kepada Anak dengan mengedepankan proses rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial serta untuk meningkatkan dan menumbuhkan rasa tanggung jawab Anak.

Dalam pelaksanaan pidana dan tindakan, pengawasan merupakan faktor penting yang perlu dilakukan, sebagai upaya agar Anak tidak mengulangi kembali perbuatannya. Selain pengawasan, faktor lain yang dilakukan dalam pelaksanaan pidana dan tindakan adalah pembimbingan dan pendampingan yang dilaksanakan secara berkesinambungan dan sesuai dengan kebutuhan serta minat dan bakat Anak.

UU SPPA terdiri dari 14 bab dan 108 pasal. Pada dasarnya, UU SPPA mengatur mengenai keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum mulai tahapan penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Sudah barang tentu, ketentuan hukum acara pidana umum tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU SPPA.

Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak mengubah paradigma pemidanaan yang sebelumnya menekankan pada pendekatan keadilan retributif, kemudian mengubahnya dengan mengedepankan rehabilitasi dan akhirnya mengintegrasikan pendekatan keadilan restoratif yaitu pemulihan hubungan antara pelaku, korban dan masyarakat. Pendekatan retributif melihat pelaku pelanggaran hukum yang merupakan kejahatan serius sehingga secara moral dinilai layak untuk menderita hukuman yang proporsional. Konsekuensinya, pendekatan ini melihat bahwa pengenaan hukuman oleh pihak yang berwenang kepada pelaku merupakan tindakan yang baik secara moral; dan pengenaan hukuman kepada orang yang tak bersalah, atau pengenaan hukuman yang besar dan tidak proporsional kepada pelaku tindak pidana, tidak diperkenankan secara moral.

Ketika pendekatan retributif mulai bergeser dengan dikenalkannya konsep rehabilitasi, paradigma pemidanaan pun berubah. Sebelumnya, pendekatan tradisional melihat pelaku sebagai penjahat, dimana tidak dilakukan penilaian terhadap tindakan perilaku tersebut dan proses peradilan dilihat sebagai proses pengenaan hukuman pidana semata sebagai suatu tindakan pembalasan yang didominasi oleh pidana penjara. Melalui konsep rehabilitasi, pelaku kejahatan dilihat sebagai orang yang sakit dan memerlukan penilaian terhadap penyebab dan faktor-faktor baik internal maupun eksternal yang digunakan sebagai dasar acuan dalam menentukan perlakuan atau pembinaan yang dilakukan. Penilaian dan pembinaan ini sifatnya berbeda-beda tiap individu. Akibatnya muncul disparitas pidana dan indefinite sentence. Pembinaan yang dilakukannya pun berbasis komunitas seperti misalnya kewajiban untuk melakukan pelayanan masyarakat. Selain itu, juga dikenal masa percobaan untuk membantu proses adaptasi reintegrasi ke masyarakat yang tersupervisi.

B. Pembahasan

Dalam Undang-undang SPPA terdapat poin-poin penting yang membedakan dengan undang-undang sebelumnya tentang pengadilan anak. Pokok perubahan dalam undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang SPPA adalah sebagai berikut :

1. Cakupan “Anak”

  • Perubahan penting lain yang dibawa UU SPPA adalah cakupan Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) yang terdiri dari Anak sebagai Pelaku, Saksi dan Korban. Sasaran Pengaturan adalah anak yang berhadapan dengan hukum (ABH), yakni:
  • Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak, adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana
  • Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana
  • Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri Selain itu, UU SPPA juga tidak lagi mengkriminalisasi anak yang ‘melanggar hukum yang hidup dalam masyarakat’ dengan tidak lagi mempergunakan istilah ‘anak nakal’. Usia pertanggungjawaban pidana dinaikkan dari 8 tahun menjadi 12 tahun, sesuai standar yang berlaku umum di tingkat internasional dan tidak dibatasi oleh status perkawinan seseorang. UU SPPA juga mengatur bahwa Anak di bawah usia 14 tahun tidak dikenakan penahanan.

2. Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak

  • UU SPPA mengatur bahwa usia pertanggung jawaban pidana adalah 12 tahun sampai usia dibawah 18 tahun, untuk batasan usia anak yang bisa dikenakan penahanan adalah anak yang telah berusia 14 tahun ke atas. Untuk anak yang berumur di bawah usia 12 tahun, maka Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional akan menelaah untuk memutuskan apakah Anak tersebut akan diserahkan kepada orang tua/Wali; atau diikutsertakan dalam program pendidikan/ pembinaan/pembimbingan di LPKS pusat maupun daerah maksimal selama 6 (enam) bulan. (Pasal 21 UU SPPA). Hal ini tentu saja juga memerlukan dukungan Kementerian/Dinas Pendidikan, Kementerian/Dinas Tenaga Kerja, dan Kementerian Agama.
  • Asas dalam SPPA yaitu asas perlindungan, keadilan, non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi Anak, penghargaan terhadap pendapat Anak, kelangsungan hidup & tumbuh kembang Anak, pembinaan dan pembimbingan Anak, proporsional, perampasan kemerdekaan sebagai upaya terakhir, dan penghindaran pembalasan.

3. Perubahan Nomenklatur dan Sarana Penunjang

  • UU SPPA juga menghilangkan kategori Anak Pidana, Anak Negara dan Anak Sipil dan tidak lagi menggunakan istilah “anak nakal’. Konsekuensinya, nomenklatur sistem pemidanaan Anak pun diubah. Sarana penunjang dalam perubahan paradigma penanganan ABH adalah dibentuknya lembaga baru, dimana Lapas Anak diubah menjadi Lembaga Pembinaan Khusus Anak atau LPKA. Rutan diubah menjadi ‘Lembaga Penempatan Anak Sementara” atau LPAS. Kedua lembaga baru ini bukan sekedar euphimisme atau penghalusan bahasa dari Rumah Tahanan dan Lembaga Pemsyarakatan, tetapi di dalamnya memuat dan harus memuat suatu konsep yang menyerasikan antara keadilan dan kepentingan pelindungan anak. Disamping ke dua lembaga baru tersebut, juga diperkenalkan adanya sarana penunjang baru berupa Ruang Pelayanan Khusus Anak, yang difungsikan sebagai ruang untuk menempatkan anak yang sedang dalam masa penangkapan selama 24 jam.

4.  Penguatan Peran Petugas Kemasyarakatan

  • Pelaksanaan sistem peradilan pidana anak tidak saja digantungkan pada peran aparat penegak hukum, namun juga bergantung pada peran petugas kemasyarakatan, yang terdiri dari Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional, dan Tenaga Kesejahteraan Sosial. Perubahan ini sejalan dengan perubahan paradigma dalam penanganan Anak yang berhadapan dengan hukum.
  • Dalam UU SPPA tugas-tugas para petugas tersebut diperluas. Tidak sekedar membimbing, membantu dan mengawasi, akan tetapi melindungi dan mendampingi anak selama proses berjalan sampai dengan pembimbingan. Mereka juga menjadi sahabat anak dengan mendengarkan pendapat anak dan menciptakan suasana kondusif. Pembimbing kemasyarakatan memiliki peran sentral dalam proses peradilan pidana, khususnya dalam penyusunan penelitian kemasyarakatan, pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap anak. Penyidik diwajibkan untuk meminta pertimbangan dan saran dari pembimbing kemasyarakatan. Penelitian kemasyarakatan merupakan hal yang wajib dan wajib pula untuk diperhatikan dalam setiap proses peradilan pidana. Dalam hal putusan pengadilan tidak mempertimbangkan penelitian kemasyarakatan, maka putusan batal demi hukum.
  • Sedangkan Pekerja Sosisal professional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial diantaranya bertugas untuk membuat laporan sosial sebagai informasi yang dibutuhkan penyidik dalam melakukan pemeriksaan terhadap anak korban dan atau anak saksi. Laporan sosial merupakan hal yang sangat penting, sehingga terhadap penyidik yang tidak meminta laporan sosial dapat dikenakan sanksi administratif.

5.   Pendekatan Keadilan Restoratif

  • Pada intinya, UU SPPA menegaskan pergeseran pendekatan penanganan perkara pidana Anak dari pembalasan (lex talionis atau keadilan retributif) menjadi penekanan pada upaya pemulihan dan penyembuhan keadaan (healing) pelaku, korban dan masyarakat. Proses keadilan restoratif ini memperhatikan kepentingan korban dan pelaku dan membuka ruang bagi pelaku dan korban untuk bertemu dalam rangka memberikan kesempatan bagi pelaku untuk mengungkapkan rasa sesalnya pada korban dan sekaligus menunjukkan tanggungjawabnya. Di lain sisi, proses ini juga memberikan kesempatan bagi korban untuk mengungkapkan perasaannya dengan harapan dapat mengurangi rasa permusuhan dan mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat.

6.  Kewajiban Proses Diversi pada setiap tingkat

  • Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. UU SPPA mengatur mengenai kewajiban proses diversi pada setiap tingkat, baik pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di Pengadilan. Proses diversi ini dapat dilakukan dengan syarat bahwa anak yang berkonflik dengan hukum itu ancaman hukumannya dibawah 7 tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Proses peradilan perkara Anak sejak ditangkap, ditahan, dan diadili pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami masalah Anak. Namun, sebelum masuk proses peradilan, para penegak hukum, keluarga, dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar jalur pengadilan, yakni melalui Diversi berdasarkan pendekatan Restoratif justice. Dalam proses ini semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, Anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.
  • Proses diversi dilakukan melalui musyawarah yang melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional. Akan tetapi, proses diversi ini hanya dapat dilakukan untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa diversi tidak ditujukan bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara diatas 7 tahun seperti pembunuhan, pemerkosaan, narkotika, terorisme dan tindak pidana lainnya.
  • Ada pun tujuan diversi adalah untuk mencapai perdamaian antara korban dan Anak, menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan, menghindarkanAnak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak. Ketentuan mengenai diversi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah yaitu PP no. 65 Thn 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 Tahun.

7.  Hak Anak mendapatkan bantuan hukum di setiap tahapan

  • Hal yang membedakan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, diantaranya berkaitan dengan bantuan hukum, dimana UU SPPA mewajibkan anak pada setiap tingkat pemeriksaan untuk didampingi advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya. UU SPPA juga mengatur bahwa penyidik, penuntut umum, dan juga hakim berkewajiban untuk menunjuk advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya. apabila anak tidak didampingi pemberi bantuan hukum. Selain itu, hak untuk mendapatkan bantuan hukum juga dimiliki oleh anak korban dan anak saksi.

8.  Penempatan anak pada Lembaga LPAS dan LPKA

  • Dengan adanya UU SPPA ini, peran dan fungsi LPAS dan LPKA pun perlu disesuaikan dengan pendekatan keadilan restoratif. Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS ) adalah tempat sementara bagi anak selama proses peradilan berlangsung atau tempat penahanan terhadap anak. Sedangkan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) adalah lembaga atau tempat anak menjalani masa pidananya atau tempat dimana anak menjalani pidana penjara.
  • Selain itu, UU SPPA juga melakukan pembatasan masa penahanan dan syarat penahanan syarat dan lamanya masa penahanan. Penahanan harus memenuhi syarat kumulatif, yaitu: terhadap Anak hanya dapat dilakukan terhadap Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih. Sedangkan masa penahanan ditentukan sangat singkat, karena terdapat pembatasan masa penahanan sesuai ketentuan undang-undang. Selanjutnya Anak yang ditahan ditempatkan di LPAS. Dan apabila ada permohonan penangguhan penahanan baik badan mau pun orangtua/wali wajib dikabulkan,

9.  Pembatasan Masa Penahanan dan Syarat Penahanan

  • Penahanan terhadap Anak tidak boleh dilakukan dalam hal Anak memperoleh jaminan dari orang tua/Wali dan/atau lembaga bahwa Anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana. Penahanan terhadap Anak hanya dapat dilakukan dengan syarat kumulatif sebagai berikut :

a.  Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan

b.  diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.

  • Syarat penahanan tersebut harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan.
  • Jangka waktu penahanan bagi anak diajukan oleh instansi yang berwenanang dimasing-masing tahapan, baik penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di ruang sidang juga dalam tahapan upaya hukum mulai dari banding sampai dengan kasasi,
  • Jika jangka waktu penahanan sebagaimana berakhir dalam tiap tahapan maupun keseluruhan, petugas tempat Anak ditahan harus segera mengeluarkan Anak demi hukum. Pejabat yang melakukan penahanan terhadap anak wajib memberitahukan kepada Anak dan orang tua/ Wali mengenai hak memperoleh bantuan hukum, dan untuk menjaga proses tetap berjalan sesuai hukum, dalam hal pejabat tidak melakukan pemberitahuan sebagaimana yang mestinya, maka penahanan terhadap Anak batal demi hukum.

10. Pembatasan Upaya Perampasan Kemerdekaan

  • UU SPPA mengatur bahwa perampasan kemerdekaan sebagai tindakan atau pilihan terakhir (Ultimum remidium) . Ultimum remidium dapat dilakukan apabila tidak ada cara lain lagi. Anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan berdasarkan ketentuan dalam UU SPPA. Anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenakan tindakan, apa pun perbuatannya. Apabila usia anak antara 12 tahun dan dibawah 14 tahun putusannya hanya dapat dikenakan berupat tindakan. Selain bersifat ultimum remidium, penjatuhan pidana dan atau tindakan mendapat perhatian khusus yang diatur dalam SPPA. Hal itu tercermin dari ketentuan dalam pasal 70 UU SPPA yang mengatur ringan Ringannya perbuatan, keadaan pribadi Anak, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Salah satu perubahan paling penting adalah UU SPPA mengatur mengenai Sanksi Pidana dan Tindakan, yaitu:
  • Tindakan yang dapat dikenakan kepada Anak meliputi :

a. pengembalian kepada orang tua/Wali;

b. penyerahan kepada seseorang;

c. perawatan di rumah sakit jiwa;

d. perawatan di LPKS (paling lama 1 tahun);

e. kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta (paling lama 1  tahun);

f. pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau

     g. perbaikan akibat tindak pidana.

  • Tindakan tersebut dapat diajukan oleh Penuntut Umum dalam tuntutannya, kecuali tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun

      Pidana pokok bagi Anak terdiri atas :

     a. pidana peringatan;

           b. pidana dengan syarat:

           1) pembinaan di luar lembaga;

          2) pelayanan masyarakat; atau

          3) pengawasan.

          c. pelatihan kerja;

          d. pembinaan dalam lembaga; dan

          e. penjara.

          Sedangkan Pidana tambahan terdiri atas :

          a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun