Mohon tunggu...
Abdulazisalka
Abdulazisalka Mohon Tunggu... Tutor - Tinggal di The Land of The Six Volcanoes . Katakan tidak pada Real Madrid.

Membacalah, Bertindaklah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Kebodohan dan Kebahagiaan" - Kata 2020

26 Desember 2020   05:08 Diperbarui: 26 Desember 2020   05:12 988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Tertawalah Sebelum Tertawa itu Dilarang (Warkop DKI) | @D_Wangga via Ask.fm

Sebenarnya, tulisan ini adalah sebuah pengumuman. Tidak perlu panjang lebar, langsung to the point, menuangkan isi secara langsung tanpa latar belakang yang bertele-tele. Tapi tidak bisa. Karena bagiku, mengumumkan masalah yang belum tentu umum itu perkara lain.

Sore itu di sebuah Lapangan Futsal

12 Januari yang lalu seorang sahabat, Indah (nama sebenarnya) dengan penuh kerendahan hati menunggu aku bermain futsal. Ia berhasil mencuri aktivitasnya yang padat sebagai dosen untuk menemuiku . Setelah selesai, aku membasuh keringat. Ia membawa sebotol air pelepas dahaga.

Bersua di ujung rumput sintetis. Dekat jaring-jaring penyekat lapangan. Hadir juga seorang kawan pemilik kedai buku Muji di bilangan landungsari. Kami bertiga, mulai bicara bertukar opini.

Seperti di beberapa obrolan sebelumnya, Indah selalu punya hal baru: pengetahuan dan informasi mengenai situasi dunia Internasional sangat penting baginya. Indah bercerita, ada sebuah virus berbahaya di Wuhan, China, kemungkinan di Indonesia sudah ada dan bakal cepat menyebar.

Hal yang aku maknai setiap informasi dari Indah cenderung valid. Tapi aku dan Muji, terbiasa bersikap skeptis kala itu. Kalau tidak ada bukti, ya tidak percaya.

Mata Indah tampak berkaca. Dan, dasar Indah, langsung memberikan bukti, "Ini valid sumber beritanya, tak bisa dibantah" katanya, "Kita harus bersiap, sebelum virus itu masuk ke Indonesia."

Mengawali Hidup Sehat

Kami terbiasa hidup mengalir begitu saja. Belum pernah ada tradisi serius untuk hidup sehat. Bukan teledor ya, melainkan lebih cenderung biasa saja. Sakit ya sakit, kemudian berobat. Tidak pernah serius dalam pencegahan.

Paling tidak, Indah mengirimkan kepadaku dan Muji masing-masing satu tas dan se-karton masker. Tas berisi hand sanitizer, vitamin dan beberapa perlengkapan kesehatan lain. Kata Indah, bakal langka semua.

Lagi-lagi aku memang tak sepenuhnya percaya. Masih cuek. Ternyata benar saja, 2 Maret 2020 hari dimana kebodohan atas cueknya diriku terhadap pendapat Indah terbukti. Rasanya seperti "Nyoh emploken" Pemerintah mengumumkan 2 kasus pasien positif Covid-19.

Tunggu dulu, kebodohanku tidak sampai disitu saja. Sebagai rakyat biasa aku tetap saja keluar rumah. Mencari nafkah. Sesekali kumpul dengan banyak teman akrab. Tanpa masker, jarak dan tetap mesra.

Sampai pada pertengahan Maret, masker benar-benar langka. Tuhan, ternyata kau telah mengirimkan Indah sebagai malaikat penyelamat. Tanpa kiriman masker darinya, mungkin aku akan ikut-ikutan membeli masker yang harganya tak masuk akal kala itu.

Karena aku berusaha bertaubat, maka protokol kesehatan harus tegak. Bahkan ketika itu kami sepakat tidak akan berjumpa sampai pandemi berlalu. Tegang dan sangat takut tertular.

Beberapa Peristiwa Tidak Masuk Akal

Awal pandemi hadir, aku berpikir. Para pejabat yang sebelumnya tidak care kepada rakyat pasti akan menjadi lebih baik. Tidak asal bicara, kerja nyata dan tidak ada korupsi.

Karena pandemi ini adalah teguran. Sudah sepantasnya semua berubah menjadi lebih baik. Ternyata, dugaanku salah total. Pikiran positif itu justru dihancurkan oleh kenyataan dan membuatku tampak bodoh sebagai rakyat biasa.

Mulai dari Alat Pelindung Diri (APD) untuk Nakes dari kantong sampah, pejabat yang berkata "Indonesia aman dan virus Corona cepat mati." Fetish 'bungkus' kain jarik, Odading Mang Oleh, FPI yang kontroversi, hingga korupsi yang tak mengenal pandemi.

Masih banyak sebenarnya peristiwa lainnya yang tak kalah populer. Rasanya, memang Indonesia butuh ketawa. Banyak hal kontradiktif dan kontra produktif dari pemerintah, artis, agamawan dan masyarakat umum lainnya.

Konyol sekali banyak rencana yang berantakan. Bukan hanya rencanaku . Mungkin banyak orang juga merasakannya. Jangankan orang, mungkin kalau patung bisa ngomong juga akan menyatakan hal yang sama. Aku yakin!

Permata yang Pergi Ketika Pandemi

Aku pernah merawat perempuan tua. Yang pada senjakala kehidupannya menghabiskan waktu di kursi roda. Di usia senjanya, segalanya melapuk, kecuali hidung, dagu dan bola  mata. Masih indah. Bentuk yang dia peroleh dari garis keturunannya sebagai Arab. Perempuan ini kehilangan marganya karena menikah dengan seorang lelaki Jawa. Kakek ku.

Dulu setiap pagi, menjelang berangkat kerja, aku akan memandikannya. Memberi suapan makanan. Biasanya bubur. Cacah daging yang ditumbuk sehalus mungkin. Lalu buah-buahan. Dia menyukai anggur. Dia selalu berlaku manja di kamarnya yang luas. Nenek ku seorang pengolok melalui caranya. Dia terkekeh jahat setiap aku terlihat kurang nyaman membersihkan kotoran yang keluar dari duburnya.

Kalau hari minggu tiba, kami akan  berbincang lebih panjang. Aku tak harus tergesa-gesa, tak ada jadwal kerja yang menganggu kehangatan kami. Berbeda dengan kakek, yang ajeg mendapati cucunya sebagai umat yang dikhawatirkan jatuh dalam kesesatan, sehingga setiap ada waktu, agama akan menjadi menu indoktrinasinya, nenek melihat cucu-cucunya selayaknya teman. Ah, itu cuma diriku saja yang diperlakukan demikian.

"Amu pingin opo sak iki?"

Dia pernah bertanya begitu, sembari meminta diambilkan kotak perhiasan. Kotak perhiasan ini sungguh penting buatnya. Bukan karena dia tumbuh dalam kultur etnisnya yang menyukai logam mulia, melainkan di dalam kotak itu ada banyak memori tersimpan. Rupa-rupa benda, mewakili rupa-rupa ingatan. Satu-dua perhiasan datang dari masa Belanda. Masa ketika dia bertemu dengan kakek.

Kakek adalah seorang pemuda yang melawan Belanda. Dia pernah diikat di pohon untuk dieksekusi. Tapi dengan satu dan lain cara, dia lolos dari maut. Dan cerita itu abadi di desa kami. Menjadi mitologi. Seperti banyak hal lain yang kemudian mengikuti cerita perihal kakek, dia menjadi sangat kuat  dalam pandangan kebanyakan awam. Kakek ikut pergi bersama ribuan pemuda ke Surabaya pada November 1945, persis ketika nenek hamil tua. Pertempuran klasik itu akan selalu dibanggakan.

"Koen iku duduk wong lanang lek durung tau nyekel bedil. Aku mateni londo nang Suroboyo", ujarnya pada salah satu paman, tentu dengan ditemani muka sombongnya nan dingin itu.

Nenek kabarnya adalah pihak pertama yang jatuh hati. Setidaknya versi itu yang paling populer di keluarga kami. Kakek bertubuh tinggi. Suka berkelahi. Berani mati. Dan ayahnya adalah cucu dari  Singojoyo. Ini adalah mitos yang lain. Perihal siapa itu Singojoyo, paman pernah bertutur panjang,  semalaman. Aku masih kecil. Awalnya aku mengira itu pelajaran sejarah, bertambah umur, aku tau itu hanyalah dongeng. Mungkin  omong-kosong.

Bagi nenek kehilangan marga bukan persoalan adat belaka. Bukan semata perihal jejak Hadhrami-nya yang putus. Melainkan dia harus menyerahkan seluruh hidupnya kepada keluarga kakek. Keluarga Jawa. Keputusan nenek cukup beresiko, tapi orang tak akan memikirkan resiko saat pertama tiba di pelaminan. Nenek masih mendapatkan warisan tanah, cukup luas, meski harusnya bisa lebih luas andai dia tak menikahi kakek. Kelak, tanah itu akan dihabiskan kakek dengan cara sesuka-sukanya.

Di ranjang yang nyaman, bersama kotak perhiasan dibekap di dada, nenek akan berkisah apa saja.  Perihal keluarganya yang pedagang. Perihal bagaimana dia saat muda. Perihal bagaimana dia menguasai bahasa Arab. Perihal bagaimana anak-anaknya saat bocah. Perihal kelahiranku. Segalanya dia bicarakan. Kecuali satu, kakek.

Pernah suatu minggu aku terus memancingnya untuk bercerita soal kakek. Mulanya dia cuma tersenyum. Mengulang-ulang senyumnya. Yang makin lama makin berbeda wujudnya. Lalu  aku mulai memaksa. Nenek terlihat tak suka. "Menengo koen!", hardiknya.

Dia memalingkan badannya yang rapuh itu dengan susah payah. Memunggungi diriku. Tak lagi mau bicara. Sehari itu dia tak sudi bicara kepadaku.

Aku kenal kakekku. Terutama karena cerita orang-orang. Cerita yang hebat-hebat, yang mengagumkan. Yang membuat sebagian orang di desa kami, saat aku bocah mencium tanganku. Yang membuat aku bisa menghajar habis anak kyai terpandang dan tidak menerima akibat apapun. Yang menikah kedua kalinya dengan perempuan muda tercantik di desa kami. Yang membuatku kemudian saat beranjak dewasa segera makin paham siapa lelaki ini.

Perempuan tua di senjakalanya memalingkan wajah. Untuk apa yang paling dicintai dan paling dia benci. Perempuan tua, membawa kenangan. Ingatan perihal orang yang paling banyak menghabiskan waktu bersamanya. Dalam apa yang terwakilkan oleh sikap memunggungi. Kematian lantas tiba dan kisah tak selalu sempurna.

Nenek menghembuskan nafas terakhirnya pada suatu senja. Kami menangis. Aku melihat kotak perhiasan di pojok lemari. Semua anak-anaknya percaya kotak perhiasan itu akan jatuh ke tanganku. Aku adalah cucu paling dia sayang. Itu merupakan perhiasan kuno dengan harga yang baik. Tapi ternyata wasiat nenek berkata lain. Anak tertuanya yang diwariskan.

Kotak perhiasan. Tempat semua cerita  bersemayam. Tempat dimana yang terpahit ada disitu. Sesuatu yang buruk dan tak pernah sudi  diceritakan. Nenek tak mau aku menyimpannya.

Pasrah dan Tertawa

Tahun ini penuh lika-liku. Setidaknya itu bagi hidupku. Senang, bodoh, dan kematian hadir dalam kenyataan hidup secara perlahan dan terpisah. 

Sempat tegang dengan pengalaman bodoh yang tak percaya virus. Lalu, meremehkan protokol kesehatan. Duka ditinggal nenek yang belum pudar. Kini memang saatnya pasrah.

Kadang memang ada beberapa hal yang bisa lepas dari kendali kita seperti kematian. Tidak dengan kesehatan dan kebodohan. Aku merasa kebodohan memang akumulasi dari isi otak kita. Kesehatan jika dijaga dan benar-benar diolah maka niscaya akan tetap ada.

Evaluasi diri harus dilakukan. Belum terlambat bukan, karena pandemi juga tak selesai dalam semalam. Ia bisa hadir kapan saja, sejarah tidak pernah bohong. Pandemi akan selalu ada. Hanya soal waktu dan sebab akibat.

Rasanya jika aku terus tegang dan nafas senin sampai kamis, bisa stress sendiri. Bahkan gila. Dan mungkin tidak bahagia. Toh, aku sebagai manusia memiliki 'gagasan' yang harus tetap membumi.

Aku memilih menertawakan diriku sendiri, bukan orang lain. Karena kebodohan lahir dariku. Justru, rasa gundah mendadak hilang saat menertawakan diriku sendiri.

Ternyata kebodohan memiliki peran dalam hidupku. Kelak bisa jadi komedi, sebagai pengingat diri sendiri atau orang lain untuk terus belajar. Rasanya memang perlu keberanian untuk melakukannya.

Jika tahun ini aku atau ada orang lain merasa gagal dan tak berguna sebagai manusia, itu tidak terlalu penting lagi. Selama bisa tertawa atas kebodohan diri sendiri. Karena tidak ada cerita sukses tanpa kegagalan. Bahkan seorang ilmuwan juga pernah melakukan tindakan bodoh.

Hari ini, aku menertawakan betapa cerobohnya aku setahun kebelakang. Ternyata benar, aku tidak sempurna. Akhirnya, aku harus belajar dan selalu belajar untuk menambal kelemahan. 

Kebahagiaan sederhana lahir saat menertawakan kebodohan diri sendiri. Bentuk bahwa kita sadar sebagai manusia seutuhnya. Melepas pilu dan luka.

Tahun ini akan pergi, tinggal menghitung hari. Kebodohan juga harus ikut mati. Bila masih bisa tertawa. Berbahagia dan mengeluarkan senyum terbaik. Rasanya ini bukan lagi tahun terburuk.

Jika rindu telah terbalas, menemukan sebuah kehangatan terbaik pada teman-teman atau keluarga. Maka memang benar kita manusia. Tak terlalu sepi dalam menjalani hari-hari tahun ini, tetap menjadi diri sendiri dan berkata jujur dengan menertawakan kebodohan sendiri. Selamat kita adalah pemenang walau memang bukan nomor satu.

Kita adalah murid. Tertawa atas kekurangan dan kebodohan sendiri adalah kebesaran hati dalam menerima diri sendiri. Jika kita berhasil tertawa, maka kita telah menjadi manusia seutuhnya. Karena, belajar dan berbahagia itu sepanjang hayat. Tetaplah kuat dan sehat para sahabat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun