Mohon tunggu...
Abdulazisalka
Abdulazisalka Mohon Tunggu... Tutor - Tinggal di The Land of The Six Volcanoes . Katakan tidak pada Real Madrid.

Membacalah, Bertindaklah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Terlahir Melarat, Maka Aku Melarat Selamanya

29 November 2020   07:18 Diperbarui: 29 November 2020   07:41 1213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kredit foto: eveliendm via pixabay edit pribadi

Baca cerita sebelumnya: 
Bagian 1 Ada Ludah di Kopi, Bukan Cinta
Bagian 2 Dikejar Utang, Suami Hilang
Bagian 3 Walau Buruk Rupa yang Penting Selamat
 

Kami memang orang miskin. Di mata orang kota kemiskinan itu kesalahan. Lupa mereka lauk yang dimakannya itu kerja kami. (Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca 1988)

Hidup kadang becanda. Bisa jadi kadang tak adil. Mengapa Tuhan menciptakan orang bodoh yang melarat dan tak kepikiran ide-ide menakjubkan yang meperbaiki hidupnya? Ganjil sekali rasanya. Seakan-akan memang Tuhan mengatur kehidupan ini sengaja ada Si Konglomerat dan Si Melarat agar satu sama lain bisa saling melengkapi. Atau mungkin orang melarat sengaja diciptakan untuk menderita sepanjang nafasnya.

Dulu ada pemuka agama, kata ia mereka itu diciptakan untuk memberi kesempatan bagi Si Kaya untuk berbuat baik dan ikut berempati terhadap kondisi itu. Tapi ternyata setelah kita coba pikir lebih dalam, banyak manusia  berempati sesaat, berbuat baik hanya untuk dilihat. Mungkin sejujurnya mereka lebih senang dan bahagia ketika membelanjakan uangnya untuk memuaskan hasrat pribadi daripada memberikannya pada orang lain yang membutuhkan.

Tutut adalah pelaku, gambar, lukisan hidup dari kisah kemelaratan dan kemiskinan. Ia tak hanya miskin harta, bahkan seluruh keluarga juga berbudaya miskin. Seluruh hidupnya adalah tentang kemelaratan dan kemiskinan yang mencekik. Kurang pengetahuan, kurang pengalaman, kurang kebijaksanaan, kurang kepercayaan diri, kurang cinta, dan kurang harta.

Takdir sungguh tak menyenangkan. Ibunya mati saat melahirkannya. Bapaknya kabur entah ke mana. Tutut tinggal dan dirawat neneknya yang melarat juga miskin dan selalu tak habis mengeluh hidupnya. Maka, sejak kecil Tutut telah belajar kiat-kiat sukses menjadi orang melarat dan miskin, lalu cara-cara praktis untuk menghancurkan keyakinan dan harga diri.

"Oi, Tut, Diam! Jangan menangis terus! Gak baik!" teriakan sadis neneknya

"Aduh, mereka meminta boneka kesukaanku nek... Huhuhuuu.."

"Mereka anak pejabat. Apa saja mereka bisa lakukan. Kita ini orang melarat. Kalau kita melawan, nanti mereka adukan pada bapaknya. Nanti kita masuk penjara. Kamu mau tinggal di penjara seperti Lik Sutet yang dituduh mencuri kelapa Pak Camat?"

Berulang-ulang nenek Tutut memberikan jawaban yang hampir mirip ketika ia diganggu saat bermain dengan teman-temannya. Boneka jambu yang ia dapat dari neneknya selalu menjadi rebutan oleh teman-temannya. Padahal, ia baru mendapatkan boneka itu beberapa waktu, tidur bersamanya. Ketika musim panen tebu neneknya dipanggil untuk membantu panen Pak Yai Sugiono, ketika itulah Tutut mendapatkan boneka itu dari Pak Yai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun