Mohon tunggu...
Abdulah Mazid
Abdulah Mazid Mohon Tunggu... Mahasiswa - Masyarakat

Hai! Saya Abdul; orang biasa yang terkadang suka membaca, menulis, memancing dan tidur.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Ulat Kesepian dan Belalang Periang

20 Juni 2022   20:28 Diperbarui: 22 Juni 2022   22:00 1184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi via pexels.com

Di suatu tempat yang jauh, hidup seekor Ulat gemuk yang mendambakan pergi ke dunia luar. Ia tinggal di sebuah perdu kecil di tepi sungai. Selama hidupnya, Ulat tak pernah beranjak dari perdu itu, ia makan, tidur, dan menghabiskan hari-harinya di ranting-ranting kecil perdu itu. 

Akhir-akhir ini hidupnya sedikit berubah, ia sering dikunjungi oleh seekor belalang yang selalu membawa banyak cerita tentang dunia luar. Ketika senja tiba, Belalang selalu mampir ke rumah Ulat untuk menceritakan apa saja yang ditemukannya selama di kebun sayuran. 

Ulat suka mendengar cerita apalagi tentang makanan. Ulat selalu mendengarkan cerita Belalang dengan antusias, namun di akhir perbincangan Ulat selalu merasa bimbang dan sedih. 

Pagi itu, Belalang menemui Ulat lagi di rumahnya, "Ayo ikut denganku, di sana banyak makanan yang lebih enak, daun-daun yang lebih segar dan manis" ujar belalang kepada ulat

Ini adalah ketujuh paginya sang Belalang mengunjungi Ulat. Sudah satu minggu Belalang itu mendatangi Ulat dan mengajaknya ke kebun sayuran untuk menikmati daun-daun segar yang ada di sana.

"Tidak, terima kasih. Aku di sini saja, di sini lebih aman dan makanan-makanan di sini juga sudah cukup bagiku" tolak sang Ulat dengan sopan. Ulat bukan tak ingin merasakan daun-daun sayuran yang manis seperti yang selalu diceritakan belalang padanya, ia hanya takut untuk meninggalkan rumahnya. 

Bahkan setiap malam, setelah Belalang banyak bercerita tentang kebun sayuran itu, ulat selalu memimpikan dirinya tengah berada di kebun sayuran dan menikmati daun-daun sayuran yang manis dan segar itu. 

“Ayolah kawan.. aku tau kau sering memimpikan bisa pergi ke kebun sayuran bersamaku. Aku tau kau sering membayangkan betapa manis dan lembutnya daun sawi itu ketika masuk ke mulutmu. Kau tau, semua mimpi indahmu itu bisa menjadi kenyataan, kau hanya perlu melangkah keluar dari tempat membosankan ini dan ikut ke kebun sayuran bersamaku” ujar sang Belalang mencoba meyakinkan Ulat untuk pergi bersamanya ke kebun sayuran. 

“Maaf Belalang, aku tidak bisa meninggalkan tempat ini. Ibu bilang dalam mimpiku semalam, katanya di luar sana berbahaya. Aku tidak boleh keluar sebelum sayapku tumbuh” tolak Ulat dengan halus untuk kesekian kalinya. 

“Baiklah kalau begitu. Hmm.. begini saja, bagaimana kalau nanti sore aku bawakan semangkuk sawi segar yang kuambil dari kebun itu untukmu? Biar ku buktikan kebenaran ceritaku padamu" ucap Belalang sambil mencubit pipi Ulat yang menggemaskan itu. 

"Sungguh? Terima kasih banyak Belalang, kau memang yang terbaik" ujar sang Ulat dengan penuh kebahagiaan. 

"Simpan terima kasihmu sampai senja tiba, aku akan membawakanmu semangkuk kebahagiaan yang kau impikan setiap malam itu" ujar belalang sambil berlalu terbang. 

Hari itu untuk pertama kalinya, ulat tidak pergi ke pucuk perdu untuk menikmati daun-daun muda yang biasa ia lahap untuk mengisi perutnya. Bayangan tentang semangkuk sawi terus menghinggapi kepalanya. 

Tibalah saatnya senja menyingsing di ufuk barat, daun-daun perdu tua berkerlapan diterpa cahaya jingga dari senja. Sore pun tiba, tibalah saatnya mimpi sang Ulat menjadi kenyataan. Akhirnya ia bisa menikmati manis dan lembutnya sawi yang ia mimpikan setiap malam sepekan ini. 

Namun sampai sore berganti malam, Belalang tak kunjung datang. Ulat mulai kelelahan menunggu, sampai-sampai ia tertidur di depan pintu rumahnya. Keesokan harinya dan hari-hari setelahnya, Belalang tak pernah datang lagi menemui Ulat. 

Ulat pun mulai berusaha menerima kenyataan bahwa memang ia tidak ditakdirkan untuk menikmati kebahagiaan yang dijanjikan Belalang padanya. Di sela-sela kesedihannya, Ulat mulai merajut kepongpong untuk membalut seluruh tubuhnya, ia satukan helai demi helai benang menjadi sebuah tempat persemayaman yang nyaman, Ulat pun memulai tidur panjangnya. 

Di pagi yang cerah itu, sang Ulat keluar dari persemayaman dengan kedua sayap indahnya. Sayapnya berbinar-binar diterpa sinar perak sang mentari. Akhirnya tiba, hari yang selalu dinantikan Ulat sepanjang hidupnya, menjadi Kupu-kupu. 

Kepak sayap pertamanya ia dedikasikan untuk sang Belalang. Sang Ulat yang kini sudah menjadi Kupu-kupu terbang untuk pertama kalinya keluar dari perdu, ia terbang melintasi sungai kecil di sebelah selatan perdu. 

Satu tempat yang sangat ingin ia datangi adalah kebun sayuran. Ia terbang landai melintasi bebatuan sungai, menyusuri jalan setapak yang menuju sebuah bangunana yang terbuat dari tanah liat yang disusun sedemikian rupa dan besar. Ia takjup menyaksikan bangunan besar itu. Apakah ini yang disebut sebagai rumah manusia? 

Belalang pernah menceritakan tentang bangunan ini, ternyata lebih besar dari yang ia bayangkan. Setelah melewati bangunan yang disebut sebagai rumah manusia itu, sampailah ia pada tujuan utamanya, kebun sayuran. 

Matanya menyapu ke segala arah kebun sayuran itu. Ia merasa sedih, ia tak menemukan belalang di sana. Dari jauh, terdengar sayup-sayup suara memanggilnya. Ia mencari sumber suara itu. Kemudian seekor burung kolibri menghampirinya. 

“Hei.. sayapmu indah sekali” sapa burung kolibri itu padanya. 

“Kenapa kau terlihat begitu sedih? Ada yang bisa kami bantu” tanya sang kolibri. 

“Aku sedang mencari seseorang, dia selalu datang ke kebun sayuran ini setiap pagi. Dia berjanji akan membawakan semangkuk sawi segar untuku, tapi ia tak pernah menemuiku lagi” ujar Kupu-kupu dengan lesu. 

“Hei.. apakah kau Ulat manis yang tinggal di perdu dekat sungai itu?” tanya sang kolibri itu pada Kupu-kupu. 

“Ya itu aku” jawab Kupu-kupu lekas. 

“mungkin kau tak ingin melihatnya, tapi biar kutunjukan sesuatu padamu, mungkin ini yang kau cari” ujar sang kolibri dengan raut wajah iba. 

“ikuti aku” mereka kemudian terbang melintasi rumah manusia dan menelusuri jalan setapak menuju sungai. 

“Kita mau ke mana? Aku baru saja melewari jalan ini beberapa saat yang lalu” tanya Kupu-kupu dengan kebingungan. 

“Kita akan ke sungai, Belalang ada di sana” jawab sang kolibri dengan raut wajah menyesal. 

“Benarkah? Kau kenal Belalang? Di mana? Dia dimana?” Kupu-kupu langsung menghujani sang kolibri dengan pertanyaan setelah mendengar nama Belalang. Matanya berbinar-binar memancarkan kebahagiaan. Sampailah mereka di tepi sungai, di bawah pohon jambu. Di sana tertancap sebuah nisan kayu, dan di sebelah nisan itu ada sebuah mangkuk yang berisi sawi yang sudah mengering. “Apa maksdunya ini?” tanya Kupu-kupu kebingungan. 

“Belalang sudah mati, dua belas hari yang lalu aku menemukan tubuh belalang tergeletak di sini. Bersama tubuhnya aku menemukan semangkuk sawi segar dan secarik kertas. Dalam kertas itu ia meminta siapapun yang menemukan mayatnya agar menguburkannya di bawah pohon jambu ini. 

Selain itu ia juga menulis sesuatu tentang seekor Ulat manis yang tinggal di sebuah pohon perdu di sebelah utara sungai ini. Sepertinya Ulat yang dimaksud itu kau. Ambilah ini, sepertinya Belalang ingin kau membacanya” ujar sang kolibri sambil memberikan secarik kertas pada Kupu-kupu. 

“te..terima kasih” ujar kupu-kupu dengan air mata yang membanjiri pipinya. 

Selesai..

aliexpress.com
aliexpress.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun