Mohon tunggu...
Abdulah
Abdulah Mohon Tunggu... Administrasi - sedang belajar

Bisa disurati di abdulah0903@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mendung di Bandung

21 November 2017   00:22 Diperbarui: 18 Juli 2020   09:38 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jadi, ketika ia befikiran untuk membantah, ia lebih memilih untuk menyimpannya lagi. Mungkin suatu saat nanti ia akan membantahnya. Ketika dia sudah memiliki tabungan yang cukup untuk menghidupinya berpuluh-puluh tahun, ketika ia sudah punya jabatan tinggi di perusahaan multinasional, ketika ia sudah punya rumah yang lantainya mengkilat, ketika ia sudah mampu memberi puluhan lembar uang bergambar presiden Indoensia pertama ke keponakan-keponakannya, ketika ia sudah bisa membelikan smartphone tercanggih dan terkini untuk adiknya yang baru saja lulus SMA. 

"bukankah itu semua yang selama ini keluargaku harapkan?" gumam Rudi dalam hati.

Rudi mengakui selama ini ia memang beberapa kali kerap meminta uang kepada bapaknya. Yang sudah sejak setengah tahun yang lalu sakit-sakitan, dan tidak bekerja seperti biasanya lagi. Ia terkadang juga meminta ke kakak-kakaknya di Bandung saat bapaknya sedang tidak ada uang.  Kadang dalam waktu 1 bulan, ia meminta kepada bapaknya 100 - 300 ribu.

Ia selalu menerima uang berapapun yang ia terima dari bapaknya. Ia meminta uang yang jumlahnya lumayan besar mungkin bisa dihitung, paling cuma 1-3 kali dalam waktu empat tahun ini. Untuk membayar uang sewa kamar kos selama 1 semester. Ketika bapaknya sedang tidak ada uang sama sekali, barulah Rudi meminta kepada kakak-kakaknya di Bandung. Ya, untuk 1-2 kali dalam sebulan lah, terkadang 100 ribu, 150 ribu, 50 ribu, tergantung kakaknya memberinya berapa.

Uang pemberian bapkanya atau kakaknya itu tidak pernah digunakan untuk hal-hal yang mungkin negatif. Uang yang diterimanya ya hanya sebatas untuk membeli makan, untuk mengisi pulsa internet sebagaimana lazimnya orang sekarang, dan terkadang membeli buku, walau terhitung jarang. Itupun masih banyak yang belum dibacanya.

Untuk rokok biasanya dikasih teman-temannya yang setiap hari selalu punya stok rokok banyak. Terkadang memang ia membeli sendiri 1 bungkus rokok, karena tidak enak setiap hari menghisap berbatang-batang rokok milik teman.


***

Cuaca Bandung saat itu tidak begitu cerah, atau mungkin Bandung memang selalu seperti itu. Rudi berusaha untuk menghilangkan pikiran tentang hal-hal yang terjadi beberapa bulan yang lalu itu. Karena sebentar lagi ia akan menemui kakak pertamanya, yang mau-tidak mau ia juga akan bertemu dengan istri kakaknya juga. Kebetulan, rumah yang paling dekat dengan terminal adalah rumah kakak pertamanya itu.

Dulu, setiap liburan di Bandung, ia hampir setiap sore bermain di terminal yang sekaligus tempat kakaknya bekerja itu. Kakaknya bekerja disalah satu loket penjualan tiket bus swasta antar kota.

Ia selalu mengingat hal itu. Mengingat akan senangnya bermain di terminal, dan melihat calon-calon penumpang yang menunggu busnya datang. Melihat penjual minuman dan jajanan yang sedang melayani pembeli yang mayoritas akan pergi meninggalkan Bandung. Mendengarkan candaan tukang gorengan yang sedikit mesum. Melihat kakaknya melayani calon penumpang yang membeli tiket. Merasakan bau pesingnya tempat parkir bus yang tak sengaja tercium hidungnya.

Hari itu Rudi merasa sangat berbeda, walaupun bau pesingnya tetap sama, penjual air mineral masih sama, dan loket tempat kakaknya bekerjapun masih sama. Yang sudah hilang adalah tukang gorengan yang punya candaan mesum itu. Mungkin sudah berjualan di terminal lain, atau mungkin sekarang sudah beralih profesi menjadi penjual gadget, entahlah.  Rudi merasa berbeda bukan karena ketidakadaan tukang gorengan. Tapi lebih karena ada hal yang membuatnya gelisah, tapi ia tidak ingin menjelaskannya. Yang ia inginkan hanya menyelesaikannya!.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun