Mohon tunggu...
Abdul Chalik
Abdul Chalik Mohon Tunggu... -

Abdul Chalik adalah peneliti dan staf pengajar Fisip, Ushuluddin dan Filsafat dan Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya. Keahlian di bidang 'Politik Islam Kontemporer', 'Politik dan Pemerintahan Lokal', "Ideologi dan Politik" dan "community engagement". Sudah menulis 13 buku, 42 artikel jurnal yang diterbitkan secara nasional dan internasional, dan 38 penelitian. Pendiri dan Direktur The Sunan Giri Foundation (Sagaf) yang bergerak di bidang riset, pemberdayaan di bidang pelayanan publik. The Sunan Giri Award merupakan salah satu program utama di bidang pelayanan publik.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Islam, Politik dan Tantangan Demokrasi Agama

13 Januari 2018   14:04 Diperbarui: 13 Januari 2018   14:54 1757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejak merdeka, Indonesia dihadapkan oleh tantangan hubungan Islamist dan nationalist dalam memperebutkan ruang dalam kehidupan bernegara. Tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan dua kelompok ini selalu dinamis, bahkan jauh sebelum kemerdekaan diraih. Sebagai konsekuensi, dinamika tersebut terus berlangsung hingga sekarang, baik dalam ruang politik maupun sosial.

Dua terma yang selalu mengemuka adalah tentang posisi Islam dalam kehidupan berbangsa dan Negara, serta implementasi ajaran dan nilai demokrasi. Dua aspek tersebut menjadi isu penting selama satu abad terakhir, terutama ketika beberapa organisasi Islam dan nasional turut serta hadir dan membawa ideologi keduanya sebagai pijakan mengembangkan perjuangannya. Terlihat dengan jelas komposisi perumus Pancasila dan tim penyiapan kemerdekaan, atau yang dikenal dengan BPUPKI dan PPKI, di mana kelompok Islam dan nasionalis dapat terwadahi di dalamnya. Isu yang paling mengemuka adalah tentang penyertaan isu Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta bagaimana demokrasi liberal barat dipraktikkan dalam kehidupan bermasyarakat.

Dengan perjalanan waktu, isu tersebut terus menggelinding hingga sekarang. Bersamaan dengan globalisasi informasi dan temuan baru di bidang informasi, maka sumber yang menjadi rujukan tidak sekedar dari bangsa sendiri tetapi juga dari bangsa lain. Baik informasi tersebut diperoleh melalui transfer pengetahuan secara langsung, maupun melalui jaringan komunikasi on line, informasi tersebut turut memperkaya atau bahkan memperkuat diskusi tentang Islam politik dan demokrasi di Indonesia.

Tulisan ini hendak mendiskusikan tentang posisi Islam, politik dan demokrasi agama di Indonesia modern, terutama pasca Reformasi. Bagaimana ruang diskusi dan gerakan tersebut mampu eksis dan berlangsung hingga, dan bagaimana pula dampaknya terhadap kehidupan keagamaan dan keberagaman di Indonesia?

Demokrasi Agama

Demokrasi merupakan isu yang paling uptodate untuk selalu diperbincangkan.  Demokrasi selalu menghadirkan harapan bagi banyak pihak, tetapi sekaligus melahirkan persoalan-persoalan baru, terutama bagi bangsa dan kelompok keagamaan yang secara tegas menolak kahadirannya. Munculnya anggapan bahwa demokrasi tidak selalu benar, dan tidak selalu tepat dipraktikkan di setiap Negara merupakan alasan yang membenarkan penolakan terhadap demokrasi.

Secara substansial demokrasi mengandaikan bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama. Setiap warga memiliki hak dan ruang sama di hadapan negara. Kelompok minoritas yang tinggal dalam suatu tempat memiliki hak-hak yang sama dengan kelompok mayoritas. Pada pokoknya setiap menusia memiliki nilai asasi yang patut dihargai dan dihormati.[1] Nilai asasi itu adalah hak hidup, hak berpolitik, hak beragama, hak meyakini atas kebenaran nuraninya.

 

Prinsip utama demokrasi adalah demos yang berarti persamaan. Persamaan yang dimaksud adalah, bahwa setiap anggota masyarakat mempunyai hak yang sama (hak dipilih-memilih dan mendapat privilege) dalam berpartisipasi di pemerintahan.3

Karena itu demokrasi menjunjung tinggi kebebasan, kesetaraan, keadilan dan penghormatan terhadap hak-hak individu.  Secara teoritik, prinsip ini yang menjadi referensi banyak negara terutama Barat. Nilai-nilai demokrasi tersebut masuk pada semua segi kehidupan, dalam praktik ekonomi, politik, hukum dan bahkan hakl-hal yang bersifat holistik yakni agama.

Kedaulatan Tuhan Versus Kedaulatan Rakyat

          Kemunculan renaesance dan humanisme di Eropa merupakan puncak dari kemenangan ilmuwan liberal dalam memisahkan agama dan negara. Renaesance dan humanisme  bukan sekedar menjadi kemenangan supremasi ilmu pengetahuan, tetapi sekaligus memisahkan pertautan antara agama dan negara. Praktik agama dalam Negara lebih bersifat artificial, bahkan pada bagian lain sama sekali tidak berhubungan.

          Renaesance dan humanisme merupakan era kebangkitan supremasi ilmu pengetahuan. Pada era ini sekaligus mempertegas bahwa manusia merupakan segala-galanya. Kemampuan akal manusia dapat menjangkau semua kebenaran di muka bumi.

Penghargaan yang luar biasa atas supremasi manusia masuk pada ranah demokrasi. Manusia dapat melahirkan kebenaran. Apapun bentuknya, yang dilakukan oleh suara mayoritas merupakan kebenaran. Sebaliknya, suara minoritas menjadi lemah dan tidak diakui kebenarannya---meskipun dari perspektif lain dianggap benar.

Dalam konteks ini, suara mayoritas (suara rakyat) menjadi penentu kebenaran. Munculnya "kedaulatan rakyat" dalam demokrasi merupakan penghargaan yang berlebihan atas supremasi akal itu---yang sangat melekat dalam kehidupan manusia. Kedaultan rakyat berarti rakyat (manusia) berdaulat, rakyat  berkuasa dan rakyat yang menentukan segalanya.

Dalam demokrasi kedaulatan akan menjadi lebih kuat jika didukung oleh mayoritas. Mayoritas dan minoritas menjadi inti dalam demokrasi. Yang kecil (minor) harus ikut yang besar (mayor), yang kalah harus ikut yang menang, yang minor tersubordinasikan oleh yang mayor. Kata "musyawarah" adalah kalimat pemanis dalam demokrasi. Kata ini digunakan untuk mengurangi nilai negatif demokrasi yang sesungguhnya pertarungan mayoritas-minoritas dan kuat-lemah. Musyawarah akan menjadi bagian dalam demokrasi dengan mengharuskan yang lemah harus mengikuti jalan pikiran yang kuat.

Sebagai lawan dari kedaulatan manusia adalah kedaulatan Tuhan. Tuhan yang menjadi referensi akhir dalam pengambilan keputusan.

Dalam bahasa yang ekstrim, semua keputusan harus menyesuaikan dengan pandangan Tuhan. Tidak ada kebenaran yang mutlak kecuali kebenaran yang didasari oleh argumen teologis Tuhan. Dalam konteks ini, suara mayoritas tidak memiliki arti apa-apa apabila dihadapkan dengan kedaulatan Tuhan. Kecuali kedaulatan manusia tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Tuhan.

Islam sebagai agama dan al-Qur'an sebagai sumber utama ajaran sangat menjunjung kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat yang merupakan inti dari ajaran demokrasi pada banyak kasus memiliki spirit yang sama dengan Islam. Islam menjunjung tinggi kebebasan, persamaan dan keadilan---sebagaimana dalam demokrasi selalu didengung-dengungkan. Namun demikian pada tataran praktis perlu memperoleh perhatian dan porsi pembeda.

Spirit Islam tidak memiliki perbedaan dengan demokrasi. Namun pada tataran praktis ajaran tidak semua ajaran demokrasi dapat dipraktikkan dalam Islam. Misalnya tentang ajaran persamaan (al-musawa). Dalam Islam tidak dapat diperlakukan yang sama antara muslim dengan non-muslim. Islam tidak mengajarkan kebebasan nikah antar agama. Ada batas-batas tertentu antara laki-laki dan perempuan dalam praktik ritual dan sosial. Karenanya Islam memegang teguh teguh prinsip persamaan, kebebasan dan keadilan sebagaimana dalam ajaran demokrasi namun harus mempertimbangkan qodrat dan asasi.

Tentang hubungan Islam dan demokrasi telah menjadi perhatian luas Pemikir muslim seperi al-Maududi, Muhammad Iqbal, Mahmud Thoha dll. Pada prinsipnya tidak semua ajaran demokrasi relevan dengan ajaran Islam. Konsep theo-democracy, demokrasi yang religious menjadi salah satu alternatif dalam menjambatani pandangan di atas. Demokrasi yang didasrkan pada nilai-nilai keagamaan. Pemikir Barat seperti John L. Esposito, Huntington, dan pemikir yang lain berpandangan yang sama.

 

Kegagalan demokrasi agama

Ketika demokrasi menjadi komitmen bagi negara untuk dipraktikkan, maka semua aspek kehidupan tidak lepas dari sentuhan demokrasi, termasuk agama. Agama yang bersifat dogmatis---keyakinan absolut bagi pemeluknya harus masuk pada ruang perdebatan bagaimana agama bisa selaras, sejalan dan menemukan titik temu dengan demokrasi.

Di beberapa negara, praktik demokrasi agama tidak mengalami hambatan yang serius. Kesuksesan dalam memisahkan urusan agama dan politik (sekularisasi) merupakan pertimbangan dasar yang memperkuat asumsi tersebut. Di sisi lain, praktik agama yang banyak mengedepankan ajaran spiritual dan longgar dalam penerapan ritual termasuk salah satu pendorongnya. Di hampir semua negara di Eropa, Amerika Utara dan Australia dimana agama terpisah dari urusan politik sehingga menjadi urusan privat, demokrasi agama tidak mengalami hambatan.

Kondisi berbeda akan terlihat di negara-negara muslim terutama Asia dan Afrika Utara. Demokrasi agama tidak serta merta beriringan dengan praktik demokrasi politik. Bahkan pada banyak kasus, demokrasi politik masih dianggap tabu dan banyak pertentangan. Munculnya kelompok perlawanan seperti al-Qaeda, Boko Haram, al-Sabab, Jamaah Islamiyah bahkan Islamic State merupakan contoh bagaimana demokrasi masih mengalami perlawanan yang sangat keras. Apalagi ketika masuk pada demokrasi agama.

Di kelompok pemerintahan terutama di parlemen, pertentangan antara kelompok islamiyyin dan wataniyyin begitu sengit dan memicu banyak persoalan. Di Timur Tengah, Afrika Barat dan Asia Selatan yang mayoritas berpenduduk muslim, dua kelompok tersebut saling berebut pengaruh untuk memperdebatkan tentang demokrasi dan persoalannya.

Di Negara-negara ASEAN, terutama di Indonesia yang menganut demokrasi (agak) bebas, demokrasi agama juga mengalami  tantangan. Kasus Ahmadiyah, Syiah, Majlis Tafsir al-Qur'an (MTA) dan Front Pembela Islam (FPI) yang belakangan banyak memperoleh sorotan merupakan contoh nyata bahwa demokrasi agama mengalami tantangan yang serius. Pertentangan yang berakhir kekerasan atas nama agama terus menggelinding dan seolah tidak pernah berakhir.

Ormas keagamaan juga tidak luput dari tantangan tersebut. NU, Muhammadiyah, LDII, Persis juga berada ruang-ruang sama meskipun pada skala yang terbatas. Munculnya ragam aliran dalam Ormas berdampak pada dinamika internal yang 'tak berujung' dalam menyikapi persoalan demokrasi agama. Keharmonisan pandangan demokrasi agama hanya pada tataran elite, yang berlatar pendidikan lebih baik dengan didukung oleh pengalaman yang luas, sementara organ di bawahnya tidaklah demikian. Ada perbedaan yang mencolok antara elite yang berada pada level tertinggi dengan elite yang berada pada level basis.

Cara pandang yang (fikih) oriented merupakan salah satu faktor munculnya tantangan dimaksud. Pendekatan fikih yang tektual dan kaku akan mengantarkan setiap muslim menjadi orang yang paling benar dalam keyakinan keagamaannya, dan sekaligus dengan mudah menyalahkan keyakinan lain. Demikian pula, ajaran keagamaan yang tektual-literal akan mengantarkan pemeluknya menjadi ummat yang paling benar di mata Tuhan. Tantangan penerapan demokrasi agama lahir lahir kelompok keagamaan yang literalis dan fiqh oriented.

Belajar dari mutasawwif dan ulama' sufi yang menggunakan pandangan sufi (ajaran substansi) dalam menjalankan praktik keagamaan merupakan ikhwal yang dapat dicarikan teladan. Ajaran perennial sufi dapat dijadikan referensi bagaimana mereka menghargai dan menghormati ajaran lain---dan bahkan menghormati ajaran selain agamanya. Seorang sufi Ibn 'Arabi secara bertahun-tahun hidup bersama dengan pendeta dan rahib Yahudi dengan saling menghormati dan menghargai keyakinan masing-masing. Ibn 'Arabi dengan ajaran Wihdat al-Wujud memaknai bahwa setiap orang punya keyakinan bahwa dalam hidup hanya untuk mencari yang Maha Benar. Namun cara atau syariah masing-masing orang berbeda. Itulah ajaran akhlak Ibn 'Arabi.

Kesuksesan Wali Songo dalam melakukan dakwah karena menggunakan pendekatan sufi. Ajaran keteladanan, akhlak yang tinggi serta menghargai dan menghormati keyakinan ajaran lain itulah ajaran agama yang sesungguhnya.  Inti dari ajaran sufi dan Wali Songo dalam praktik keagamaan adalah akhlak yang tinggi.

Demokrasi agama tanpa dilakukan pendekatan baru yang lebih mengedepankan akhlak yang tinggi tidak bermakna apa-apa. Inti (buah) dari ajaran agama adal;ah akhlak.

Penutup

          Implementasi demokrasi agama terutama di Indonesia memerlukan diskusi yang panjang. Diskusi diarahkan pada bagaimana menempatkan demokrasi agama sebagai isu strategis dalan rangka membangun hubungan antar umat beragama. Diskusi diarahkan bagaimana demokrasi agama dapat dilokalisir pada ruang-ruang terbatas agar tidak mendapat perlawanan dari masyarakat.

Pada kenyataanya tidak semua prinsip demokrasi dapat diterapkan dalam agama. Agama memiliki ruang dan prinsip yang berbeda. Keduanya hanya dapat bertemu pada aspek-aspek tertentu. Namun demikian, tidak dapat dikatakan keduanya menemui jalan buntu. Masih ada ruang dialog untuk mempertemukannya. Misalnya, dalam mempraktikkan demokrasi agama dengan mengedepankan ajaran sufi yang lebih toleran dan terbuka dalam menerima perbedaan. Bukan menggunakan pendekatan fikih dan teologis yang cenderung lebih kaku dalam penerapannya.

Semoga.

[1] Robert Dahl, Democracy and Its Critics (London:Yale University Press, 1989), 22.

   

3 Unders Uhlin, Democracy and Diffusion (Sweden:Lund University, 1995), 11.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun