Mohon tunggu...
Abdy Busthan
Abdy Busthan Mohon Tunggu... Administrasi - Aktivis Pendidikan

Penulis, Peneliti dan Dosen

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Martin Heidegger (1889-1976)

25 Januari 2019   07:39 Diperbarui: 25 Januari 2019   08:02 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika Anda mempelajari ilmu filsafat, Anda tak mungkin bisa menghindari orang ini. Siapakah dia??? Ya, dia adalah Martin Heidegger, seorang filsuf asal Jerman yg mempunyai pengaruh besar terhadap konsep eksistensialisme, dekonstruksi, hermeneutika, dll. Heidegger dalam pemikirannya selalu berusaha mengalihkan filsafat Barat dari pertanyaan-pertanyaan metafisis dan epistemologis ke arah pertanyaan-pertanyaan ontologis. Bahkan, kerangka hermeneutika modern selalu berangkat dari paradigma Heidegger tentang pembalikan ontologis dalam hermenutika.

Saya pertama kali tertarik dengan pemikiran orang ini karena ia menolak konsep Tuhan dari metafisika. Sebab menurutnya, tidak terlihat kemungkinan untuk berbicara tentang Tuhan di situ. 

Sebaliknya dalam epistemologis, filsafat Heidegger kemudian menjadi agnostisis. Tapi anehnya, justru Heideggerlah yang sangat mempengaruhi Teologi Kristiani di kemudian hari.

Menurut Heidegger, konsep Allah dalam metafisika tradisional itu tidak cukup Ilahi, tidak cukup suci. Dalam metafisika dan teologi, Allah sering dibicarakan sebagai suatu "Pengada" diantara pengada-pengada yang lain. 

Tetapi hal ini keliru, sebab Allah itu bukan "Pengada" tetapi "Mengada". Dalam hal ini, konsep "Mengada" begitu tinggi dan suci, sehingga tidak ada kata-kata lain yang dapat digunakan untuk bisa mengucapkan hal itu. Yang Ilahi itu "Mengada". 

Relasi 'Mengada' dan manusia adalah seperti memberi dan 'berterima kasih'. Manusia tidak harus berpikir tentang Allah, sebab manusia tidak dapat mengerti yang ilahi, dan sebaiknya dia tidak harus mencobanya.


Jadi menurut Heidegger, 'berpikir' atau 'to think' (denken) haruslah diganti dengan 'berterima kasih' atau 'to thank' (danken). Selanjutnya Heidegger menyatakan bahwa "bahasa sendiri berbicara". Kalimat singkat ini kemudian memiliki akar yang sangat kuat. 

Untuk kalimat "siapa berbicara jika dibicarakan?", maka sekurang-kurangnya mengandung tiga jawaban, yaitu: (1) jawaban tradisi humanistis, (2) jawaban tradisi mistis, serta (3) jawaban dari tradisi logosentris.

Tradisi Humanistis, memberikan jawaban yang paling biasa. Subjek bahasa itu manusia. Artinya, manusia itu pusat dunia, sejarah, berpikir, dan berbicara. Jika manusia tidak berpikir dan berbicara sendiri, dia (manusia) tidak bebas dan terasingkan dari dirinya sendiri. 

Tradisi Mistis, mengajarkan bahwa manusia harus mencari sifatnya diluar diri-nya sendiri. Manusia tidak harus berbicara, melainkan diam dan mendengar. Dalam hal ini, manusia harus menghilangkan dirinya sendiri dalam yang lain. 

Misalnya Rasul Paulus dalam Kitab Galatia 2:20 mengatakan: "Bukan saya yang hidup, melainkan Kristus hidup di dalam saya". Tetapi Spinoza mengatakan, "Kalau saya mengasihi seseorang, kasih itu adalah kasih Allah kepada Diri-Nya sendiri", dan "Tindakan saya, adalah tindakan Allah". 

Sama halnya dengan Max Scheler (1874-1928) yang mengatakan: "Manusia itu pesta pendek dalam evolusi hidup, dan sejarah manusia itu tertenun dalam proses perkembangan Allah sendiri". 

Tradisi humanistik sering di tolak, tetapi ini tidak berarti bahwa tradisi mistik yang sering mempunyai perangai religius yang di pilih. Seringkali kedua-duanya di tolak, karena masih adanya kemungkinan ketiga, yaitu bahasa sendiri yang dipandang sebagai suatu subjek.

Tradisi Logosentris, berasal dari zaman prasokratis dalam kebudayaan Yunani sebelum tahun 500 SM. Tradisi ini terbentuk dari logos yaitu: kata dan bahasa. Dalam zaman ini, orang cenderung berpendapat bahwa pengarang-pengarang harus mendengarkan 'Mousa' yaitu keilahian yang memberi inspirasi. 

Heidegger berpendapat di sini bahwa 'berbicara' memang tidak terjadi oleh manusia. Bahasa yang berbicara, bukan manusia. Ada sesuatu yang lebih besar dari manusia yaitu bahasa. Jika manusia berbicara, dia terpaksa berbicara di dalam struktur-struktur bahasanya. 

Sebabnya, manusia ditangkap oleh bahasa. Demikian halnya jika manusia itu berpikir, maka dia terpaksa akan berpikir dalam struktur-struktur dan kategori-kategori dari bahasanya. Seperti apa yang pernah dikatakan oleh Novalis (1772-1801) bahwa: "Bahasa melucu dengan manusia". Sementara kata Mallarme, "Yang berbicara itu kata sendiri". Sedangkan Lacan mengatakan bahwa, "Subjek lebih dikatakan daripada berbicara sendiri"

Semoga bermanfaat
Salam..Wassalam..Hormat di Bri

Sumber Buku: Busthan Abdy (2018). KRISTUS Versus tuhan-tuhan POSTMO. Kupang: Desna Life Ministry

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun