Mohon tunggu...
Abd. Ghofar Al Amin
Abd. Ghofar Al Amin Mohon Tunggu... wiraswasta -

|abd.ghofaralamin@yahoo.co.id|

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Aku dan Stroke (Part 4)

16 Agustus 2016   22:39 Diperbarui: 16 Agustus 2016   22:53 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Sekitar tujuh tahun yang lalu penulis divonis mengidap darah tinggi (hipertensi). Tensi harian selalu di atas 180/100 hingga 210/120. Selengkapnya : Aku dan Stroke (Part-1). Sudah berusaha berobat tapi belum ada perkembangan yang berarti, bahkan apa yang penulis khawatirkan terjadi, serangan stroke awal menghinggapi penulis. Tapi kala itu penulis masih memaksa, jika sesungguhnya tidakterjadi apa-apa. Namun perasaan makin campur aduk tidak karuan, terlebih istri memvonis kalau bentuk wajah menjadi tidak simetris, dan mata sipit sebelah. Istri langsung mengajak penulis untuk periksa kesehatan ke rumah sakit, tapi penulis menolak, masih dengan alasan yang sama, "Tidak apa-apa, gampang kalau besok tidak ada perubahan baru kita ke rumah sakit". Selengkapnya : Aku dan Stroke (Part-2)

 Karena tidak ada perubahan yang berarti setelah minum obat (rawat jalan) dari rumah sakit, malam itu juga penulis diajak untuk opname. Penulis awalnya sempat menolak dengan alasan baru minum obat 2 hari, wajar kalau belum ada perubahan yang signifikan. Tapi penulis langsung “dipaksa” untuk diopname di rumah sakit, dan yang dituju adalah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Banyumas Jawa Tengah. “Apa tidak kasihan lihat anak-anak yang masih kecil, ayo mas tek antar ke rumah sakit sekarang” ajak adik ipar sambil menunjuk ke arah dua anak penulis yang memang masih kecil-kecil, dan penulis pun pasrah. Selengkapnya : Aku dan Stroke (Part-3)

Senin, 31 Agustus 2015, waktu menunjukkan pukul 21.00 WIB di RSUD Banyumas. Penulis didampingi adik ipar langsung mendaftarkan diri di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Setelah menunggu beberapa saat penulis langsung ditangani oleh seorang dokter. Mulai cek tensi, hasilnya 210/120, cek kolesterol, hasilnya 320, cek asam urat hasilnya 12. Usai cek, perawat langsung memasangkan infus dan penulis diminta berbaring di bed yang telah disediakan. Penulis tidak langsugn dibawa ke bangsal rawat inap tapi tetap stay di ruang IGD hingga pagi, kata dokter diobservasi dulu.

Dari malam hingga pagi, penulis diberi satu tablet catopril, kalau tidak salah 25 mg. Dari malam hingga pagi penulis tidak makan nasi, hanya beberapa potong roti sobek saja. Aduh, menginap di IGD rasanya tidak nyaman sekali, kana-kirinya pasien dari beragam penyakit, mulai dari balita diare hingga korban kecelakaan. Hanya erangan dan aduhan yang terdengar. Ditemani istri yang setia, penulis baru bisa tertidur sekitar pukul 23.50 WIB karena kelelahan.

Selasa, 01 September 2015, pagi hari, bangun subuh, langsung ke toilet ambil air wudlu dan sholat di bed ruang IGD. Menunggu dokter rasanya sangat lama. Pagi itu kembali sarapan beberapa potong roti dan segelas teh hangat. Baru sekitar pukul 08.45 dokter datang memeriksa. Sebelum memeriksa dokter sempat bilang kalau hasil tensi masih di atas 170/110, penulis masih harus menjalani observasi di ruang IGD, belum boleh pindah ke bangsal rawat inap.

Aduh, penulis mulai khawatir, jangan-jangan tensinya masih tinggi. Setelah dicek, alhamdulillah hasilnya cukup bagus, tensi semalam 210/120, pagi sudah turun menjadi 170/100, dan dokter langsung mengijinkan penulis pindah ke bangsal rawat inap. Persis pukul 09.00 WIB penulis mendapatkan kamar. Namun karena rumah sakit sedang penuh pasien, penulis terpaksa stay di bangsal Kelas 2, satu kamar 2 orang. Aduh, alamat tidak bisa istirahat ini, kalau satu kamar dua orang, apalagi yang sebelah mengerang-erang terus karena kesakitan.

Beberapa menit di ruang rawat inap, dokter melakukan kunjungan, pertama dokter spesialis saraf, dokter Farida. Datang langsung menanyakan apa yang penulis keluhkan, dengan sedikit kesusahan, penulis mencoba menjelaskan apa yang terjadi. Dokter langsung meminta penulis tersenyum, menjulurkan lidah, menekan kedua paha, lalu penulis disuruh mengangkat paha yang ditekan, memegang kedua tangan penulis, lalu memintanya untuk menarik secara bersamaan. Dokter kedua adalah dokter spesialis dalam, dokter Made, dan dokter ketiga dokter spesialis Mata. Di ujung kunjungan, tim dokter memberi kesimpulan yang sama, penulis terkena gejala stroke ringan. Nah kan.. Ya sudah lah, diterima saja takdir ini.

Waktu makan siang telah tiba, petugas rumah sakit mengantarkan makanan ke ruang rawat, sepiring nasi putih, ikan bandeng, sop, teh manis dan roti. Ketika akan memulai makan, tiba-tiba istri melarang penulis makan dengan lauk ikan bandeng, disisihkan lalu dicicipi, eh ternyata anyeb, tidak berasa asin. Istri lalu menyerahkan kepada penulis untuk menikmatinya, benar anyeb, dimasak tanpa garam hanya dikasih bumbu rempah-rempah saja. Sopnya juga sama hambar, tanpa garam, sama, hanya diberi bumbu rempah-rempah saja. Karena ingin sembuh, semua hidangan makan siang tetap penulis habiskan, setelah itu minum obat yang diberikan oleh dokter.

Sore, dokter kembali datang untuk kunjungan, kembali dicek, dan alhamdulillah, tensi kembali turun menjadi 160/100, dan sore itu juga sudah ada ruang rawat yang cukup repesentatif untuk beristirahat. Setelah kunjungan dokter, pas usai maghrib langsung pindah ke ke ruang rawat inap yang baru di ruang kelas 1, meskipun tidak terlalu besar, tapi cukup untuk istirahat dengan tenang ditemani sang istri. Dan benar, setelah pindah kamar, usai shalat isya langsung “terkapar” tertidur dengan sangat nyenyaknya hingga pukul 03.00 dini hari, perawat datang membawa obat, para tamu bezuk tak satu pun yang penulis tahu.

Selama empat hari, dari Selasa hingga Jum’at, tiap hari, pagi, siang dan sore menu yang disuguhkan di rumah sakit tidak berubah, nasi putih, sop dan lauk tanpa garam. Mulai dari tempe bacem manis, tahu bacem manis, ayam, rendang sapi, bergedel, ikan laut, ikan air tawar, semua dimasak hanya dengan bumbu rempah, nyaris tanpa garam. Hanya sop yang diberi sedikit garam, setengah asin saja.

Walhasil, Jum’at pagi tensi penulis sudah turun menjadi 150/90 dan bicaranya sudah tidak pelo lagi. Saat kunjungan dokter spesialis saraf, penulis minta ijin untuk pulang. Dokter Farida kembali mengetest penulis seperti saat baru datang ke rumah sakit, suruh tersenyum, menjulurkan lidah, ditekan kedua pahanya dan disuruh mengangkat sekuat tenaga, digenggam kedua tangannya dan disuruh menarik sekuat tenaga secara bersama-sama. “Kalau menurut saya sih boleh pulang, tapi keputusan akhir sama dokter Made (spesialis dalam) nanti siang,” katanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun