Mohon tunggu...
Ketut Syahruwardi Abbas
Ketut Syahruwardi Abbas Mohon Tunggu... -

hanya orang biasa yang kebetulan suka "ngelamun" dan suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Renungan Ramadhan 19: Tak Berbudaya Seusai Id Fitri (Bagi. I)

2 September 2010   05:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:31 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh Ketut Syahruwardi Abbas

I

slam mengenal tiga pilar: Iman, Islam, Ihsan. Tapi kita paling jarang membicarakan pilar terakhir, Ihsan. Maklum, Rasul Muhammad hanya memberi definisi sangat umum terhadap Ihasan. Tidak seperti Iman dan Islam yang diurai, dirinci, dan dipenuhi penetapan, yang kemudian diterjemahkan oleh banyak ulama sehingga sering berkesan bawel dan rewel. Ihsan hanya didefinisikan dengan “Kerjakanlah segala hal sebaik mungkin seakan engkau berhadapan dengan Allah. Kalaupun tidak, ingatlah bahwa Allah senantiasa mengawasimu.”

Bagian sangat penting dalam ihsan adalah kebudayaan, adat, etika, estetika, dan akhlak. Karena persoalan-persoalan ihsan tadi tidak mungkin digeneralisir pada setiap kelompok, suku, maupun bangsa, maka Allah dan Rasul pun tidak merinci dengan detil persoalan ini. Islam, karena itu, diharapkan bisa mengakomodir perkembangan ihsan berdasarkan budaya, adat-istiadat, tata sosial, etika, dan estetika setempat.

Mungkin penting juga kita meminjam istilah Bali, desa kala patra, dalam soal ini. Sebab, pada dasarnya, kebudayaan (dan lain-lain yang disebut di atas) sangat tergantung pada tempat, waktu, dan kondisi setempat. Kebudayaan, pada dasarnya, adalah cara manusia menanggapi kondisi tertentu pada tempat dan waktu manusia itu berada. Karena itu, kebudayaan pada kelompok-kelompok manusia pada tempat dan waktu berbeda tak mungkin bisa diseragamkan. Begitu juga, kebudayaan bukanlah kondisi stagnan sebuah masyarakat. Karena itu pula, hanya orang tolol yang senantiasa ingin “mempertahankan sebuah kebudayaan”.

Kebudayaan selalu bergerak progresif segaris dengan pergerakan kondisi dan waktu. Pergerakan itu adalah keniscayaan. Secara fitrah, manusia senantiasa berusaha bergerak. Seluruh komponen —jasmani maupun rohani— pada manusia senantiasa bergerak.

Kemanusiaan

Pertanyaan sangat penting yang sering dijawab dengan salah adalah: Untuk siapa agama diturunkan? Untuk kepentingan Tuhan? Tidak. Tuhan tidak memiliki kepentingan apa-apa dengan agama. Tuhan akan tetap Mahamulia kendatipun seluruh jagad raya ini tidak menyembahnya. Tuhan tetap Mahabesar kendatipun seluruh manusia mengingkarinya. Agama, juga Islam, diturunkan sepenuhnya untuk manusia. Agar manusia bermartabat. Karena itu, kalau ada yang “membelokkan” agama sehingga tidak memanusiakan manusia, tidak berorientasi kepada kemanusiaan, maka saya adalah orang pertama yang ingin menganjurkan, “Tolak ramai-ramai cara beragama seperti itu.”

Saya menantang Anda semua, adakah satu ayat saja dalam al Quran yang tidak berorientasi pada manusia? Maaf, kalau ada satu saja ayat seperti itu, Demi Allah akan saya tinggalkan agama ini. Bagi saya, Islam adalah tuntunan agar kita benar-benar menjadi manusia dan memanusiakan orang lain. Itulah sebabnya kita harus bersyahadah, harus shalat, harus berpuasa, harus berzakat, dan harus berhaji. Orientasi dari semua ajaran itu adalah agar kita, manusia, mencapai kemuliaan sebagai manusia di hadapan Allah, di hadapan manusia lain, di hadapan malaikat, dan di hadapan makhluk-makhluk lainnya.

Sayangnya, kita sangat jarang memandang ajaran-ajaran Allah dengan cara pandang kemanusiaan seperti ini. Orientasi pandangan kita terlampau banyak tersita oleh persoalan-persoalan halal-haram, sorga dan neraka. Kita melaksanakan shalat lima kali dalam sehari hanya dengan tujuan agar kewajiban kita gugur dan karena itu kita bisa terhindar dari api neraka. Kita jarang sekali memberi makna shalat sebagai sarana pelatihan agar kita benar-benar menjadi manusia. Kita beranggapan, kalau kita telah melakukan ritual shalat, maka kita telah terhindar dari “fakhsya wal munkar”. Walhasil, shalat jalan, korupsi dan pembabatan hutan pun tetap jalan. Puasa dan haji dilaksanakan, tetapi keserakahan dan kedurjanaan pun jalan pula.

(Bersambung)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun