Sepenggal Kisah Pedagang Di Trotoar
Tatkala menunggu istri yang sedang rapat, saya putuskan untuk mengisinya dengan menulis di HP, sekedar merekam apa yang terjadi saat itu.
Berada di trotoar depan Sekolah Dasar yang bersebrangan dengan distributor motor. Persis lokasi di Jalan AH Nasution. Sehubungan perut sudah terisi makanan sewaktu di rumah, maka tidak tergoda oleh jajanan yang berada di sebelah saya. Siapa sih yang tidak tergiur dengan aneka gorengan ?.
Mulailah menulis apa yang saya dengar, karena pedagang gorengan dan pedagang bubur ayam  telah membuat saya terpaksa menuliskannya. Saking istimewa di pandangan saya.
"Bagaimana nih jualan kayaknya kurang laku", wanita paruh baya berkomentar kepada teman di sebelahnya.
"Ya ...mana anak sekolah lagi libur, kantoran juga belum masuk", timpal seorang wanita dewasa penjual bubur ayam, berbaju kaos tak mau kalah.
Keduanya berbincang tentang barang dagangannya yang masih sepi pembeli. Jalan Raya memang mulai ramai dengan kendaraan, baik motor maupun mobil.
"Susah sekarang mah setelah suami berpulang, saya cape sendiri, semuanya dilakukan sendiri", keluh pedagang bubur ayam.
"Memang situ doang yang cape, saya pun ga ada yang bantuin. Anak cuma dua saja sibuk masing-masing dengan HP. Walau disuruh bantuin hanya sebentar", papar pedagang gorengan.
"Ya.. yah kenapa ya anak-anak sekarang ga pada mau bantuin orang tua', tanya temannya yang dari tadi hanya bisa mendengarkan keluh kesah.
"Disuruh belajar malah maen. Pulang maen terus pegang HP atau nonton televisi", pedagang bubur ayam menambahi lagi.
Seolah mereka sedang "rapat" untuk mencari solusi atas permasalahan. Asik berbincang kesana kemari dengan topik yang tidak pernah beranjak. Hanya keluhan saja.
Saya duduk mendengarkan dan menuliskannya sudah hampir setengah jam, namun obrolan mereka malah makin seru. Apa saja diobrolkan dan jadi keluhan.
Berkaca kepada sikap mereka, ada beberapa yang perlu menjadi sorotan.
Kebiasaan ngobrol dengan alasan hanya sekedar melepas lelah bukan lagi solusi praktis. Perlu diingat bahwa teman ngobrol kita apakah akan membawa ke sisi baik atau sebaliknya. Bukan dilarang ngobrol tapi perhatikan sisi baiknya. Hindari munculnya keluh kesah.
Hal apa yang enak diobrolkan pun harus disesuaikan dengan kondisi. Tidak semua kejadian dapat menjadi bahan obrolan. Pilih-pilih bahan akan lebih enak untuk ngobrol, apalagi dalam rangka mencari solusi atas masalah.
Secara pribadi, saya merasa diingatkan akan istri di rumah. Suami bertanggung jawab atas apa yang dilakukan istrinya. Menghindari efek kurang baik dari obrolan adalah edukasi personal yang intens. Jadi teringat ceramah Pak Ustad di Masjid Darussalam, Permata Biru, katanya dalam keadaan apa pun maka gunakan kacamata agama. Semuanya dikembalikan kepada pedoman beragama. Biar didapat obrolan yang menyehatkan pikiran juga hati.
Begitu...ceramah beliau. Setengah jam bersama pedagang di trotoar telah menambah wawasan tentang kegiatan di lapisan masyarakat yang dekat dengan kita. Harapan saya mudah-mudahan hanya sesaat itu saja mereka berbincang. Aamiin.
Semoga bermanfaat. Terima kasih.