Mohon tunggu...
Abanggeutanyo
Abanggeutanyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - “Besar, ternyata ada yang lebih besar, sangat besar, terbesar, super besar, mega besar dan maha besar.”

Nama : FM Al-Rasyid ---------------------------------------------------------------- Observe and be Observed

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menikmati Akronim di Negeri Serba Singkatan

10 Agustus 2021   15:39 Diperbarui: 10 Agustus 2021   16:01 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari contoh di atas tidak ada singkatan yang aneh-aneh misalnya singkatan Abamel untuk AAE, atau Ahaco untuk AHC atau Verted untuk VSI atau "2Malls" untuk 2MASS dan seterusnya, karena musti mengacu pada aturan dan kaedah membuat singkatan yang berlaku di sana.

Membuat singkatan sebetulnya tidak rumit, tak perlu njelimet. Tapi mengapa menjadi rumit dan aneh karena lebih mengutamakan praktis, merasa familiar tapi tidak berkaca pada aturan sebelum meluncurkan singkatan.

Kondisi itu diperburuk oleh pejabat yang ternyata suka dengan istilah-istilah tersebut karena selain telah menjadi kosakata dari masa ke masa juga telah digunakan oleh pendahulu mereka.

Beberapa perusahaan media berita sangat menyadari ada kekeliruan tersebut sehingga MELARANG keras wartawan dan editor mereka menggunakan istilah dan singkatan yang tidak standard pada media mereka.

Boleh memasukkan singkatan dalam menulis atau dalam judul berita jika singkatan itu memenuhi syarat sebagai singkatan, misalnya "DPR Pilih Ketua yang Baru." Orang atau pembaca pasti tahu DPR yang dimaksud adalah "Dewan Perwakilan Rakyat."

Penggunaan singkatan pun kini semakin tak tekendalikan. Ini sebuah fakta, kita hidup di negeri penuh singkatan bahkan singkatan yang tidak standard.

Luangkan waktu Anda sejenak pada CONTOH kalimat di bawah ini.

Warga mendapat "Bansos" (bantuan sosial) "Bako" (bahan pokok) dari "Balon" (bakal calon) Kades (kepala desa) dalam Pilkades (pemilihan umum kepala desa) di Kopi (Kota Pinang). 

Peristiwa di atas cuma contih (semoga) tidak ada. Kalaupun ada mungkin bisa terhenyak menatap kalimatnya. Tapi kalimat mirip seperti itu mungkin saja ada karena singkatan itu sudah lazim muncul dalam berita. 

Untuk standarisasi nama kota saja musti berdasarkan Standard Nasional Indonesia (SNI) nama kota. Untuk Kota Pinang dalam SNI diberi 3 huruf yaitu KPI, bukan Kopi.

Tanpa disadari kita telah terperangkap dalam penggunaan bahasa singkat sehari-hari. Di sinilah di negeri ini orang-orang menjalani kegiatan, hidup dan mati menggunakan singkatan yang tidak atau kurang standard dan ironisnya menjadi kosakata yang baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun