Mohon tunggu...
Abah Ucup
Abah Ucup Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang pengajar yang menjaga keresahannya

Semakin dewasa kesukaan semakin absurd

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Seekor Burung dan Pikirannya

5 Juni 2022   12:08 Diperbarui: 5 Juni 2022   12:13 1242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seekor burung dalam sebuah sangkar/dokpri

Aku adalah burung yang tidak tahu apa itu kebebasan.

Setiap pagi, majikan Ku selalu merawat ku dengan piawainya. Waktunya tidak berubah. Semuanya dimulai sesaat setelah matahari muncul di garis cakrawala. Pertama-tama Aku dimandikan. 

Oleh majikan ku, Aku dipindah ke sebuah sangkar besar yang dilengkapi dengan baskom berisi air untuk Ku mandi. Aku sangat menikmati saat momen mandi ku. Sesekali ku berkicau sebagai perwujudan rasa sukur dan bahagia ku karena aku dapat menikmati mandi yang nikmat ini. 

Setelah puas mandi, Aku dipindahkan ke sangkar ku yang mungil. Di dalamnya sudah tersedia biji-bijian dan dua tiga ekor jangkrik di dalam sebuah wadah yang ditempelkan majikan ku di jeruji kandang. Keduanya adalah makanan favorit ku. Dan tidak lupa sebuah wadah berisi air bersih tempat Aku minum. Kemudian Majikan ku menggantung sangkar ku di batang sebuah pohon di depan rumah. 

Aku menikmati sarapan pagi ku sambil merasakan hangatnya panas mentari pagi. Sesekali ku berkicau indah sebagai ucapan terima kasih kepada majikan ku. Terlihat majikan ku tersenyum mendengar kicauan ku. Sungguh rutinitas pagi yang menyenangkan.

Namun tidak semua burung dapat merasakan apa yang kurasakan. Dan Aku tidak peduli pada tatapan aneh pelbagai burung liar terhadap ku. Aku berpikir mereka hanya iri pada ku, sebab mereka hidup dalam ketidakpastian dan kesulitan setiap harinya. Mereka harus bertahan hidup sehari demi sehari dengan cara bekerja keras terbang ke sana dan ke sini untuk mencari makanan. Tidak seperti diri ku yang hidup layak dalam sangkar ku yang mungil. Sesekali satu dua burung liar hinggap di dekat sarang mungil ku.

 Mereka sering bertanya pada ku mengenai sebuah kebebasan. "Apakah aku tidak ingin terbang bebas di luar sarang?" adalah pertanyaan yang paling sering mereka lontarkan. Namun aku tidak lantas menjawab pertanyaan itu, aku tidak mau terbebani. Maka, pertanyaan itu aku balik tanyakan pada mereka para burung liar usil yang bertanya. Apalah arti kebebasan jika itu hanya lah kesulitan dan ketidakpastian, jawab ku atas pertanyaan itu. Mereka para burung liar hanya memiringkan kepala sebagai respon atas jawaban ku. 

Lantas mereka sering kali berkata dengan kepongahan idealisme yang mereka miliki jika aku telah gila. Namun jawaban yang mereka berikan pun hanya "omong kosong" yang tidak membuat ku merasa puas.

Aku pun memandang para burung liar itu aneh. Mereka bicara tentang kebebasan ini dan itu, tapi toh mereka datang ke sekitar kandang ku untuk makan makanan ku yang tercecer. Mereka adalah para burung liar yang hipokrit. Di dasar idealisme Aku yakin ada rasa iri melihat ku yang hidup nyaman seperti ini dan cemas akan hidup mereka sendiri. Bagiku kebebasan adalah kehendak untuk memilih. Apakah hidup dalam sangkar yang mungil atau terbang wara wiri tanpa tujuan tanpa kepastian. 

Meskipun menurut manusia seekor hewan seperti ku hanya memiliki intuisi yang disebut insting dan tidak berakal. Akan tapi Aku yakin sesungguhnya manusia tidak benar-benar mengetahuinya. Kenapa manusia percaya jika Ikan lumba-lumba memiliki kecerdasan sedangkan hewan lain tidak? Jadi ini adalah kondisi yang ku pilih secara sadar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun