Mohon tunggu...
Aat Suwanto
Aat Suwanto Mohon Tunggu... Administrasi - hirup mah ngan saukur heuheuy jeung deudeuh

Tukang main, sesekali belajar menjadi pemerhati dan peneliti serta penulis (dengan 'p' kecil) di bidang Pariwisata, selain juga menulis essai di bidang humaniora, serta menulis cerpen dan novel terutama dalam bahasa daerah Sunda.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

BPNT, BUM DESA dan Keberdayaan Produk Lokal

18 November 2018   06:27 Diperbarui: 18 November 2018   07:38 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Persoalan utama yang akan coba kami bahas dalam tulisan singkat ini terkait bagaimana peran BUM Desa dalam Program BPNT, serta sejauhmana program dimaksud bagi kemanfaatannya bagi keberdayaan produk lokal ketika BUM Desa berperan didalamnya.

Memahami BPNT

Berbicara Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), berbicara produk hasil metamorfosis dari Program Beras Sejahtera (Rastra) yang sebelumnya telah terlebih dahulu menggantikan Program Raskin (Beras Untuk Keluarga Miskin). Dikatakan produk hasil metamorphosis, jika Program Rastra hanya sebagai baju pengganti Program Raskin (Beras untuk Rumah Tangga Miskin), BPNT sendiri boleh dikatakan sedikit lebih inovatif.

Dalam Program Rastra bantuan hanya berupa komoditi beras yang disalurkan secara langsung dengan harga yang dinyatakan murah menurut harga pasar. Di program Rastra --sebagaimana Program Raskin, masyarakat penerima program tidak memiliki lagi pilihan. Selain [ilihan jenis komoditinya hanya satu yaitu beras, pilihan kualitas dan harganya pun tidak ada. Penyalur dari program ini pun langsung Pemerintah Desa/Kelurahann setempat.

BPNT sendiri memberikan pilihan lebih. Pertama, bantuan yang diterima si penerima program (yang kemudian disebut Keluarga Penerima Manfaat atau KPM) bukan lagi berupa produk langsung, namun uang. Uang ini kemudian secara mandiri dibelanjakan oleh si KPM sesuai kebutuhannya. Disebut sesuai kebutuhan, karena uang tersebut bisa dibelanjakan secara keseluruhan maupun secara berangsur.

Komoditi yang dapat mereka beli pun tidak beras saja. Menurut Khofifah Indar Parawangsa selaku Menteri Sosial pada saat itu (2017), Si KPM dapat membeli pilihan bahan pangan lain sesuai dengan kebutuhan. Terpenting jumlah total pembelanjaan tidak melebihi nominal jumlah bantuan.


Namun kemudian dalam Pedoman Umum (Pedum) BPNT yang dikeluarkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI Tahun 2017, ternyata komoditi yang termasuk dalam program BPNT adalah Beras dan/atau Telor.  

Satu-satunya kelemahan dan itu pun tidak perlu diperdebatkan hanyalah terkait lokasi pembelian yang tidak dapat dilakukan disembarang tempat. Pembelian hanya dapat dilakukan di tempat tertentu yang dinamakan E-Warong (bukan Warung). Dinamakan E-Warong, karena transaksinya berupa transaksi elektronik dari sebuah kartu semacam kartu ATM milik Si KPM tadi.

Soal transaksi elektronik ini kiranya patut diapresiasi. Betapapun dengan transaksi elektronik, peredaran uang yang beredar di masyarakat menjadi dapat terkontrol. Kalau saja dilaksanakan secara tunai, dengan pembelanjaan yang serentak dari para KPM diseluruh Indonesia, bukan tak mungkin jika program ini akan berdampak pada terjadinya inflasi.   

Peran BUM Desa

Bilamana hanya mengacu pada Pedum BPNT, maka peran BUM Desa sama sekali tidak disebutkan. Pelaku-pelaku BPNT menurut pedum hanyalah, KPM, para pelaku E-Warong (yang kemudian sering disebut Agen BPNT), para Pendamping program BPNT, dan Tim Koordinasi Bantuan Sosial Pangan. 

Adanya peran BUM Desa di BPNT ketika pada Desember 2017 empat kementerian ialah, Kementerian Sosial, Kementerian Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kementerian BUMN, serta Kementerian Pertanian menandatangani Nota Kesepahaman Tentang Penyaluran BPNT.

Hal yang menarik dari Nota Kesepahaman Empat Kementerian ini adalah tegasnya peran dan kedudukan BUM Desa untuk menjadi salah satu Supplier dari agen BNPT dan bukan sebagai Agen BPNT. Kedudukan ini sejajar dengan BUMN, dan Toko Tani Indonesia (TTI). Sementara selama ini seringkali BUM Desa hanya didudukkan sebagai agen. Hal ini misalnya, terjadi di lingkungan Kabupaten Ciamis.      

Keputusan mendudukan BUM Desa selaku Supplier tentu bukan tanpa alasan. Bagaimana pun keputusan tersebut terkait erat dengan marwah dari peran besar lembaga usaha milik desa ini untuk menjadi lembaga bisnis sekaligus juga dapat menjadi katalisator dari terbangunnya keberdayaan usaha-usaha lokal pedesaan.

Dengan perannya sebagai lembaga bisnis, tentu saja dibutuhkan kecukupan ragam syarat dari BUM Desa, terutama sekali kemahiran manajerial. Termasuk didalamnya tata kelola keuangan, kerjasama dengan lembaga lain, hingga produksi dan distribusi.

Menjadikan BUM Desa sebagai supplier, tentunya hal tersebut dapat melatih dan mendorong percepatan kemampuan manajerial tadi, khususnya bagi BUM Desa yang masih baru dan/atau masih tertatih dalam melangkah.

Program BPNT pun dapat membangun dan mengukuhkan eksistensi BUM Desa selaku lembaga bisnis berorientasi pemberdayaan usaha ekonomi lokal. Eksistensi ini dibangun ketika BUM Desa dalam fungsinya sebagai supplier menggandeng pengusaha-pengusaha dan/atau petani lokal untuk bekerja sama menjadi pemasok atau distributor dari barang kebutuhan BPNT.   

Dengan adanya kerjasama antara BUM Desa dengan pengusaha/petani lokal, tentu saja produk lokal akan lebih banyak terberdayakan. Dengan adanya program BPNT, paling tidak setiap bulan akan terserap ribuan kilogram beras dan telur hasil keringat para petani lokal. 

Wacana Sertifikasi Produk

Dalam perjalanan uapaya menjadikan BUM Desa selaku supplier, kemudian timbul wacana untuk mensertifikatkan produk yang akan disalurkan ke KPM. Bagi kami wacana itu sungguh menggelikan.

Harus dipahami bahwa persertifikatan adalah salah satu bentuk penseragaman --sementara berbicara lokal pasti akan berbicara keberagaman. Penseragaman sendiri terjadi ketika produk yang akan dipasarkan bersifat massif sehingga membutuhkan manajemen kontrol tertentu terhadap produk dimaksud dimana kontrol tersebut sejatinya tidak lagi bisa dilaksanakan terus menerus secara langsung.

Ketika BUM Desa dijadikan supplier BNPT, semestinya kontrol terhadap produk dimaksud dapat dilakukan secara langsung mengingat rekanan BUM Desa adalah pengusaha lokal setempat. Bahkan lebih jauh rekanan dimaksud pun akan melakukan self kontrol terhadap produk yang dimilikinya karena ancaman hukum sosial pasti akan berlaku terhadap dirinya.

Itulah kenapa dalam tata aturan yang ada sama sekali tidak disebut soal tata aturan standar produk --yang ada adalah soal standar harga ke KPM.

 Cihaurbeuti

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun